Ancaman Krisis Pangan Akibat Wabah Belalang

Ruang Diskusi
8 min readJul 13, 2020

--

Meskipun pandemi Covid-19 belum usai, beberapa negara di dunia dihadapkan dengan persoalan wabah belalang (locust plague) yang mengakibatkan krisis pangan di beberapa wilayah Afrika. Hal ini terjadi di tengah upaya negara-negara Afrika Timur berjuang mengamankan pasokan pangan karena pandemi Covid-19. Negara-negara yang paling terdampak dengan adanya wabah belalang ini yaitu Kenya, Uganda, Sudan Selatan, Ethiopia, Somalia, Eritrea, Djibouti, dan Sudan.

Di timur laut wilayah Kenya, Source : FAO (Sven Torfinn)

Fenomena wabah ini merupakan yang terparah selama 70 tahun terakhir di Kenya, terbesar dalam 25 tahun di Ethiopia dan Somalia, dan terparah dalam 30 tahun terakhir di Pakistan. Wabah ini juga dapat memengaruhi 20% daratan bumi dan berpotensi menganggu mata pencaharian satu per-sepuluh penduduk dunia.

Isu keamanan pangan yang disebabkan wabah belalang ini berkaitan dengan konsep human security. Pada tahun 2012, United Nations General Assembly (UNGA) mengadopsi Resolusi 66/290, memperkenalkan konsep human security sebagai pendekatan yang menghubungkan tiga pilar (pembangunan, hak asasi manusia, serta perdamaian dan keamanan) sebagai satu kesatuan. Human security secara singkat yaitu hak setiap orang untuk terbebas dari rasa takut dan ingin (freedom from fear and freedom from want) karena ancaman (threat) yang ada. Korelasi antara human security dan food security ada pada ide pemenuhan realisasi hak manusia untuk mendapatkan pangan yang cukup (memadai). Hak ini mengisyaratkan bahwa setiap orang berhak memiliki akses secara fisik dan kemampuan secara ekonomi terhadap makanan yang memadai ataupun sarana untuk mendapatkannya.

Belalang Gurun dan Pemicu Terjadinya Wabah Belalang

Belalang merupakan hama yang bermigrasi tertua di dunia. Jenis belalang yang menjadi pemicu wadah ini yaitu belalang gurun (Schistocerca gregaria). Belalang gurun ada tersebar di wilayah barat laut Afrika hingga bagian barat Asia. Pada fase ‘solitory’, belalang gurun akan menghabiskan waktunya sendiri dan benar-benar hanya bertemu dengan belalang lainnya untuk kawin. Namun jika cuaca mengalami perubahan, hal ini akan membuat transformasi pada belalang gurun. Jika wilayah yang biasanya kering menjadi subur dan memunculkan vegetasi, belalang gurun ini akan berkerumun. Kerumuman ini kemudian memicu sebuah hormon, dan belalang akan mengalami transformasi secara fisik serta mental.

Transformasi yang terjadi pertama yaitu perubahan pada warna belalang, dari cokelat menjadi kuning terang. Kemudian, tubuh belalang akan menyusut dan daya tahannya akan meningkat, yang mana kemampuan untuk terbangnya akan turut meningkat. Lalu bagian otak mengalami perkembangan, dan beriringan dengan nafsu makan belalang yang meningkat. Fase ini dikenal dengan ‘gregarious phase’.

Belalang kemudian akan terus makan dan berkembang biak, serta meninggalkan telur-telurnya di tanah yang lembab. Ketika telur-telur tersebut menetas, belalang tersebut akan membentuk kawanan yang tidak bisa terbang namun menjadi voracious insects dan dikenal dengan ‘hopper bands’. Jika sayap mereka tumbuh, dan mereka terbang akan sangat sulit untuk dihentikan. Sekawanan belalang gurun ini dapat berpergian hingga 150 km setiap harinya. Satu kawanan belalang ini memiliki jumlah 150 juta belalang per kilometer persegi, yang mana setiap kawanan dalam 24 jam dapat memakan tanaman yang jumlahnya dapat dialokasikan untuk lebih dari 35.000 orang.

Lini Masa Terjadinya Wabah Belalang

2018

Mei: Badai siklon (cyclone Mekunu) yang terjadi di Semenanjug Arab, tepatnya di hamparan pasir (gurun) sangat luas atau biasa dikenal dengan ‘Empty Quarter’ membuat adanya danau-danau kecil diantara bukit pasir yang biasanya kering.

Oktober: Badai siklon (cyclone Luban) terjadi di Yaman. Setelah itu badai siklon terus menerus terjadi dan datang dari Laut Arab. Hal ini bukan hal yang biasa terjadi, dan membuat wilayah yang biasanya kering menjadi banjir, khususnya di kawasan Afrika Timur. Kondisi ini mengakibatkan tiga generasi belalang gurun berkembang biak secara masif dengan tidak terdeteksi dan tidak terkontrol.

2019

Januari: Sekawanan belalang pertama meninggalkan Empty Quarter menuju Yaman dan Arab Saudi, hingga barat daya Iran ketika hujan lebat turun.

Februari-Juni: Penyebaran perkembangbiakan terjadi di Yaman, Arab Saudi, dan Iran menyebabkan terbentuknya kawanan-kawanan baru. Pengawasan tidak dilakukan dengan baik di Iran dan Yaman. Yaman sendiri juga sedang dalam situasi perang.

Juni-Desember: Kawanan-kawanan belalang dari Iran mulai bermigrasi ke perbatasan India-Pakistan (Indo-Pakistan) hingga tiga generasi, karena adanya musim hujan yang lebih lama dari biasanya. Hal ini menimbulkan kawanan belalang semakin meningkat. Di Yaman, kawanan belalang terbang, berpindah ke Somalia dan Ethiopia dan terus berkembang biak.

Oktober-Desember: Kawanan belalang dari Ethiopia dan Somalia terbang serta berpindah ke Eritrea, Djibouti, Kenya. Hopper band dan kawanan belalang terbentuk di dataran pesisir Laut Merah di Yaman, Arab Saudi, Eritrea, dan Sudan.

2020

Januari: Kawanan belalang terus menyebar dan bertelur di Ethiopia dan Kenya. Beberapa menetas di Somalia dan lainnya berpindah ke wilayah Yaman dan Arab Saudi.

Februari: Kawanan belalang ini mulai mencapai wilayah Uganda dan Sudan Selatan, beberapa mencapai Demokratik Republik Kongo dan Tanzania. Penyebaran dan penetasan telur masih terus berlangsung di Kenya. Beberapa kawanan mencapai Teluk Persia.

Maret: Penyebaran dan penetasan telur menimbulkan generasi kawanan baru di Ethiopia dan Kenya. Beberapa kawanan menginvansi Uganda dan Sudan Selatan. Penyebaran kawanan dan telur-telur belalang mulai menetas di bagian selatan Iran.

Pergerakan Belalang Gurun, Source: FAO
Pergerakan Belalang Gurun, Source: FAO

Dampak Terjadinya Wabah Belalang

Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 12 juta orang yang ada di Ethiopia, Somalia, dan Kenya dihadapkan dengan krisis pangan. Wabah ini berpotensi menghilangkan alokasi makanan yang cukup untuk 84 juta orang. Di Kenya sekitar 200 miliar belalang menghancurkan 2.400 kilometer persegi wilayah lahan pertanian dan padang rumput. Kemudian di Ethiopia belalang gurun ini bahkan menganggu penerbangan. Pada akhir tahun 2019 lalu, di wilayah Amhara, Ethiopia juga tercatat hampir 100% tanaman teff, tanaman pokok di Ethiopia, hilang karena wabah belalang ini.

Di tahun ini, Pemerintah Somalia mendeklarasikan ‘state emergency’ pada Februari lalu karena wabah ini. Pada bulan yang sama, Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan juga turut menyuarakan national emergency untuk melindungi para petani dan hasil panen. Di Pakistan, belalang menghancurkan tomat, gandum, dan hasil panen kapas. Hal ini membuat harga makanan melambung tinggi. Di Asia Selatan, selain Pakistan India juga mengalami wabah ini. Di wilayah Gujarat, sekitar 10.700 hektar lahan terdampak, yang umumnya merupakan ladang benih jinten (cumin). China bahkan juga telah diingatkan mengenai pergerakan belalang ini. Di wilayah Khunjerab, salah satu wilayah perbatasan antara China dan Pakistan, pihak China mulai memonitor kawasan tersebut sejarak 2 km dari keberadaan belalang berada. Mobil-mobil yang lewat disterilkan dan barang-barang yang dibawa diperiksa untuk memastikan tidak ada telur belalang yang terbawa.

Wabah Belalang dan Pemanasan Global

Seorang entomologist bernama Dino J. Martins mengatakan bahwa dirinya melihat fenomena wabah ini sebagai ‘existential warning from the nature’ (sebuah peringatan dari alam). Dalam wawancara dengan Harvard Gazette, Martins mengatakan “There’s a deeper message, and the message is that we are changing the environment”. Lebih lanjut, Martins mengungkapkan bahwa degradasi lingkungan, overgrazing, deforestasi, dan meluasnya gurun pasir menciptakan kondisi ideal untuk belalang gurun berkembang biak. Berdasarkan Science Alert, perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan pola cuaca dapat membuat hujan lebih sering terjadi di beberapa wilayah di dunia. Korelasi antara wabah belalang ini dengan perubahan cuaca secara lebih merinci dapat dijelaskan melalui Indian Ocean Dipole (IOD). Terjadinya badai siklon yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Timur memiliki kaitan dengan sistem iklim yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD).

IOD memiliki pengaruh terhadap cuaca di dua sisi Samudera Hindia, mulai dari Afrika Timur dan Semenanjung Arab hingga Indonesia, Papua New Guinea, dan Australia. Dipole pertama kali diidentifikasi pada tahun 1999, terdapat tiga fase yaitu positif, negatif, dan neutral. Pada fase netral, perairan di wilayah Indonesia, Papua New Guinea dan Australia berada pada kondisi hangat, yang menyebabkan udara naik dan membuat hujan terjadi.

Source: NOAA

Angin-pun bergerak ke arah barat Samudera Hindia. Pada fase ini, dipole memberikan efek suhu yang sangat kecil di negara-negara sekitar Samudera Hindia. Pada fase positif, pola yang terjadi sebaliknya. Pada fase ini terbentuk hal-hal yang memungkinkan terjadinya badain siklon dan hujan lebat di kawasan Semenanjung Arab dan Afrika Timur. Frekuensi badai siklon meningkat pada fase positif dipole terjadi karena adanya pertambahan suhu yang menjadi lebih hangat dan kelembaban (additional warmth and moisture) hingga memicu terjadinya badai. Berdasarkan sistematika IOD, badai siklon yang terjadi di Semenanjung Arab dan Afrika Timur terjadi karena kondisi laut di sekitar wilayah tersebut (Laut Arab dan sekitarnya) lebih hangat dari biasanya (pada fase positif). Kondisi Samudera Hindia bagian barat yang lebih hangat dari pada seharusnya tersebut, membuat perbedaan suhu antara bagian barat dan timur Samudera Hindia semakin besar. Hal ini kemudian memicu hujan dan badai siklon terjadi di Afrika Timur dan Semenanjung Arab, serta kekeringan di Australia.

Source: NOAA

Berdasarkan Dr. Wenju Cai, Direktur Centre for Southern Hemisphere Oceans Research at the Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) di Australia, studi pada tahun 2009 menunjukan fase positif dipole terus meningkat sejak abad ke-20. Pada awal abad ke-20, fase dipole positif terjadi kira-kira empat kali dalam periode 30 tahun. Namun, dalam periode 30 tahun yang mencakup 1989–2009, telah terjadi 10 dipole positif. Sebuah studi yang diterbitkan oleh ‘Nature’ pada Maret lalu, memperkuat temuan bahwa peristiwa dipole positif semakin sering terjadi. Peningkatan fase positif dipole ini terjadi karena semakin masifnya perubahan iklim, yang membuat suhu laut menjadi lebih hangat dari pada seharusnya.

Penangangan Wabah Belalang Saat Ini

Saat ini beberapa tanaman ditangani dengan diberikan pestisida, berdasarkan FAO hal ini cukup bekerja dan menyelematkan hasil panen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hampir 8 juta orang. Namun dalam jangka panjang, pestisida juga akan menjadi hal yang berbahaya untuk biodiversity. Ada beberapa hewan yang berperan penting dalam pertumbuhan tanaman seperti lebah contohnya, yang akan terancam mati jika pestisida terus digunakan.

Referensi:

Cassella, C. 3 Juli 2020. The Locust Plague in East Africa is Sending us a Messsage, and It’s not A Good News. Science Alert. Diakses dari https://www.sciencealert.com/the-locust-plagues-in-east-africa-are-sending-us-a-message-and-it-s-not-a-good-one

Charlton, E. 26 Juni 2020. Locusts are putting 5 million people at risk of starvation — and that’s without Covid-19. World Economic Forum. Diakses dari https://www.weforum.org/agenda/2020/06/locusts-africa-hunger-famine-covid-19/

Dunne, D. 10 Maret 2020. Q&A : Are the 2019–20 Locust swarms linked to climate change? Carbon Brief. Diakses dari https://www.carbonbrief.org/qa-are-the-2019-20-locust-swarms-linked-to-climate-change

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2016). Human Security & Food Security. Diakses dari http://www.fao.org/3/a-i5522e.pdf

Kato, S. & Baba, M. 4 Maret 2020. Locust swarms form dark clouds over South Asia food security. Nikkei Asian Review. Diakses dari https://asia.nikkei.com/Spotlight/Society/Locust-swarms-form-dark-clouds-over-South-Asia-food-security

Laman Food and Agriculture Organization of the United Nations. (n.d). Current upsurge (2019–2020). Diakses dari http://www.fao.org/ag/locusts/en/info/2094/index.html

Laman Food and Agriculture Organization of the United Nations. (n.d). Food Chain Crisis: Locusts. Diakses dari http://www.fao.org/food-chain-crisis/how-we-work/plant-protection/locusts/en/?utm_content=buffera5b79&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer

Laman Food and Agriculture Organization of the United Nations. 07 November 2019. Desert Locust outbreak worsens in Ethiopia. Diakses dari http://www.fao.org/emergencies/fao-in-action/stories/stories-detail/en/c/1247226/

Mas, Kimberly. 24 Juni 2020. Why locusts are descending on East Africa. Vox. Diakses dari https://www.vox.com/videos/2020/6/24/21301608/locusts-east-africa-cyclones-middle-east

Penulis: Cynthia Eka Wahyuni;Editor: G. Giovani Yudha B; Perancang Visual: Yundira Putri Rahmadanti

--

--

Ruang Diskusi
Ruang Diskusi

Written by Ruang Diskusi

Halo Kawan Diskusi, follow juga instagram kami ya https://instagram.com/ru.dis

No responses yet