Berlomba Mencari Migas di Kutub
Baik Kutub Utara (Arktik) dan Kutub Selatan (Antartika) memiliki keunikan yang berbeda tapi memiliki satu kesamaan, yaitu wilayah yang dingin. Hal ini disebabkan karena daerah Kutub menerima radiasi matahari kurang intensif daripada wilayah bumi bagian lainnya. Ini juga terjadi karena energi matahari menyinari pada sudut miring dan menyebar ke daerah maksimal paparan sinar matahari. Selain itu, daerah Kutub merupakan daerah yang terjauh dari khatulistiwa, maka daerah ini menerima radiasi matahari paling lemah sehingga daerah ini umumnya dingin sepanjang tahun.
Banyaknya bongkahan es dan salju juga mencerminkan sebagian besar daerah yang kurang menerima sinar matahari. Daerah Kutub dapat dicirikan sebagai wilayah dengan suhu yang sangat dingin, dipenuhi oleh gletser dan variasi ekstrem di siang hari (dengan 24 jam siang hari di musim panas), serta kegelapan total di pertengahan musim dingin.
Wilayah Kutub juga minim berpenghuni manusia, namun terdapat beberapa hewan yang berhabitat di sana, seperti penguin, beruang kutub, alga, jamur, hingga bakteri. Suhu di Arktik yang bisa mencapai -40° Celcius dan Antartika yang mencapai -89° Celcius mengakibatkan daerah Kutub minim berpenghuni manusia.
Meskipun kedua wilayah ini sangat dingin dan minim penduduk, namun beberapa negara mencoba melakukan eksplorasi di Kutub karena wilayah Arktik-Antartika dianggap memiliki potensi energi migas yang tinggi.
Minyak dan Gas di Kutub Utara
Survei Geologi Amerika Serikat memperkirakan bahwa Arktik mengandung sekitar 13% dari sumber daya minyak dan sekitar 30% dari sumber gas alam yang juga belum ditemukan. Diperkirakan sekitar 87% sumber daya minyak atau setara 360 miliar barel terdapat di tujuh provinsi cekungan Arktik. Pada tahun 2016, pasokan minyak yang telah ditemukan di Arktik mencapai 95 juta barel per harinya, sedangkan untuk pasokan gas alam sebanyak 370 miliar kaki kubik per harinya.
Secara yurisdiksi, terdapat 8 negara yang memiliki klaim atas minyak dan gas di bawah dasar laut Arktik dan terletak di atas Lingkaran Arktik, yaitu Kanada, Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, Rusia, Islandia, dan Amerika Serikat. Secara historis, klaim yang dilakukan oleh setiap negara dilakukan secara sepihak. Namun berdasarkan Konvensi Hukum Laut masing-masing negara mendapatkan zona ekonomi eksklusif yang membentang 200 mil dari garis pantai. Klaim sepihak ini menyebabkan beberapa sengketa wilayah yang tumpang tindih dan menghasilkan ketidaksepakatan.
Lebih dari 10 pencapaian setiap negara sejak tahun 1964 telah melakukan eksplorasi migas di Arktik berdasarkan National Petroleum Report tahun 2015. Hingga saat ini, aktivitas eksplorasi migas di Arktik akan terus bertambah seiring berjalannya permintaan minyak dunia.
Minyak dan Gas di Kutub Selatan
Sebagai salah satu ekosistem paling murni yang tersisa di bumi, Antartika merupakan tempat yang tepat bagi para ilmuwan untuk dapat memeriksa apa saja yang terjadi dari proses iklim. Antartika menjadi salah satu tempat yang tidak berpenghuni manusia dan kalaupun ada, hanya untuk sebatas kunjungan penelitian.
Perusahaan induk geologi multi-industri Rusia, Rosgeologia, telah melakukan survei seismik sejak tahun 70-an hingga sekarang yang menunjukan bahwa terdapat 513 miliar barel minyak dan gas di Antartika. Sedangkan The Guardian mengutip "Ringkasan Kebijakan" –yang dibuat oleh Lowy Institute, National Security Fellow– Ellie Fogarty mengklaim cadangan minyak Antartika diperkirakan mencapai 203 miliar barel dan menjadi cadangan minyak terbesar ketiga di dunia.
Saat ini, Rusia mulai mengarahkan titik fokus eksplorasinya ke Antartika. Berdasarkan informasi yang diumumkan pada bulan Maret 2020, Rosgeologia melakukan survei seismik terbaru di Laut Riiser-Larsen, lepas pantai Queen Maud Land, Antartika. Rosgeologia juga dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan melakukan survei sejauh 4.400 km dengan tujuan untuk menilai potensi minyak dan gas lepas pantai di daerah tersebut.
Tidak seperti perjanjian yang mengatur Arktik (yang memungkinkan diizinkan untuk eksplorasi dan pengembangan hidrokarbon), perjanjian Antartika tahun 1959 ditandatangani oleh 53 negara dengan tujuh negara yang memiliki klaim khusus, yaitu Argentina, Australia, Chili, Perancis, Selandia Baru, Norwegia, dan Inggris. Salah satu isi perjanjian tersebut berisi bahwa setiap aktivitas negara dibatasi hanya untuk penelitian ilmiah non-militer saja, ekstraksi sumber daya di Antartika dilarang, serta pembatasan ini dapat dicabut pada tahun 2048. Jadi untuk saat ini, cara yang dilakukan setiap negara hanya dapat melalui penelitian ilmiah.
Sejumlah negara yang melakukan klaim Antartika kemungkinan besar telah melakukan analisis klandestin (kbbi. Klandestin: secara rahasia, secara diam-diam) untuk memastikan sumber daya di Antartika, namun tidak ada negara yang berani terbuka selain Rusia. Diprediksi larangan aktivitas mineral di Antartika akan muncul pembaruan hanya pada tahun 2048. Namun mengingat apa yang telah ditemukan oleh Rosgeologia, Rusia dapat memutuskan untuk secara sepihak dikemudian hari.
Selain itu, China yang semakin terlibat dalam dinamika perpolitik dunia juga menunjukan keagresifannya di kawasan Antartika. China telah membangun ‘stasiun penelitian ilmiah’ di Antartika sejak tahun 1983 dan juga menjadi bagian dari penandatanganan perjanjian Antartika 1959. Tahun 2014, China membangun pangkalan keempatnya di Antartika dan tahun 2015 akan dibangun seperlima. Dalam hal ini China juga memiliki teknologi transportasi seperti kapal pemecah es yang baru pada awal 2016, kapal ini mampu menahan angin Force 12 yang ditemukan di Samudera Selatan dengan jangkauan 7.000 mil.
Tidak hanya Rusia dan China, Amerika Serikat juga mengoperasikan pangkalan di Antartika. Terdapat 68 pangkalan di Antartika sebagai stasiun penelitian yang didirikan untuk tujuan ilmiah, namun larangan militerisasi masih tetap dilanggar. Beberapa negara tidak melaporkan penyebaran militer dan membangun jaringan pengawasan rahasia dan kendali jarak jauh dari sistem senjata ofensif.
Dihadapkan dengan persaingan yang semakin ketat atas sumber daya alam yang melimpah, Antartika-pun menjadi sasaran bagi setiap negara yang ingin meningkatkan teritorial dan kapabilitas negara.
Lantas timbul pertanyaan, bagaimana jika setelah tahun 2048 negara-negara besar seperti Amerika Serikat-Rusia-China melakukan eksplorasi di wilayah Antartika? Bagaimana jika eksplorasi di Antartika tidak hanya dilakukan oleh aktor negara saja, melainkan juga ada campur tangan dari Multi National Company? Yang jelas, perubahan iklim dan pencairan es di Kutub akan terjadi seiring dengan volume yang sangat masif. Kondisi Antartika yang sebelumnya tidak berpenghuni akan berubah menjadi wilayah berpenghuni dan aktivitas eksplorasi migas didalamnya akan sangat berdampak pada perubahan situasi iklim dunia menjadi makin tidak stabil.
Kegagalan Eksplorasi Migas
Meskipun pencapaian eksplorasi migas akan meningkat, namun setiap negara juga perlu berhati-hati dalam melakukan aktivitas eksplorasi.
Sebagai contoh, tumpahan minyak yang terjadi di Norilsk, Rusia Utara, mengakibatkan sekitar 20.000 ton bahan bakar diesel dilepaskan ke lingkungan. Minyak ini mulai bocor pada 29 Mei 2020 dan angin kencang menyebabkan minyak menyebar ke lebih dari 12 mil (20 km) dari sumbernya. Hal ini tentu saja berdampak pada pencemaran sungai, danau, dan tanah di sekitarnya. Akibatnya, tumpahan minyak ini mencemari area seluas 350 km persegi.
Pabrik minyak ini dimiliki oleh anak perusahaan Norilsk Nickel (Nornickel) yang merupakan produsen nikel dan paladium Rusia. Atas hal ini Pemerintah Rusia menyalahkan tangki bahan bakar yang buruk dan meminta Nornickel membayar kompensasi untuk kerusakan lingkungan. Namun Nornickel menyangkal kelalaian tersebut dan mengatakan bahwa tangki bahan bakar yang rusak terjadi karena permafrost yang cepat mencair. Penyelidik kasus ini memercayai bahwa tangki penyimpanan didekat Norilsk tenggelam karena pencairan lapisan es, sehingga Arktik mengalami cuaca hangat selama berminggu-minggu.
Tumpahan minyak besar, seperti Exxon Valdez pada tahun 1989 atau Deepwater Horizon tahun 2010, biasanya melibatkan minyak mentah tebal yang berada di permukaan air laut. Tumpahan semacam ini sudah dapat dilakukan dan praktik pembersihan sudah dikenal luas. Namun, tumpahan Norilsk baru-baru ini melibatkan minyak diesel yang lebih tipis dan kurang gloopy di air tawar, sehingga membuat pembersihan menjadi lebih sulit.
Oleg Mitovol, mantan wakil kepala pengawas lingkungan Rusia Rosprirodnadzor, mengatakan “tidak pernah ada kecelakaan seperti itu di zona Arktik — pembersihan bisa menelan biaya sekitar $1,5 miliar dan memakan waktu antara lima hingga 10 tahun”.
Selain pencemaran air, dampak dari tumpahan minyak di Norlisk menyebabkan suhu udara 10° Celcius lebih hangat dari rata-rata, sehingga wilayah ini rentan terhadap pemanasan iklim.
Kondisi ini perlu menjadi fokus bagi perusahaan minyak yang melakukan eksplorasi di wilayah Arktik. Meskipun Pemerintah berusaha untuk cepat menangani kegagalan eksplorasi minyak, namun penyebaran tumpahan minyak dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang semakin masif.
Dampak Lingkungan di Kutub Melalui Kacamata Hubungan Internasional
Perubahan iklim merupakan perubahan suhu dan pola cuaca jangka panjang di suatu tempat, namun juga dapat merujuk ke lokasi tertentu atau planet secara keseluruhan. Mengutip dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perubahan iklim dapat diasosiasikan dengan dampak dari tindakan manusia terhadap bumi.
Merujuk pada sikap setiap negara yang berkeinginan untuk melakukan eksplorasi migas di Antartika, maka ini menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim dunia. Secara rasional negara bertindak untuk memenuhi kebutuhan untuk masyarakatnya. Namun menurut International Energy Agency (IEA), hal yang tidak disadari bahwa sektor energi, transportasi, dan produksi telah sangat tercemar akibat penggunaan bahan bakar fosil.
Paul J. Crutzen, seorang ahli kimia dan ahli meteorologi asal Belanda, menjelaskan bahwa perubahan lingkungan di dunia disebabkan karena adanya intervensi manusia. Terdapat dua kunci indikator perubahan iklim, yaitu temperatur dan naiknya volume laut dengan perubahan presipitasi. Sehingga apa yang terjadi di Arktik dapat juga dirasakan oleh wilayah sekitar. Hal ini memengaruhi perubahan temperatur menjadi semakin panas dan ketebalan es di Kutub menjadi semakin menipis, bahkan mencair. Seluruh hal yang terjadi di dunia akibat adanya sifat antroposentris (kbbi. Antroposentris: berpusat pada manusia) manusia dalam memperoleh kesempatan.
Bagi sebagian negara, Antartika saat ini merupakan arena geopolitik untuk mendapatkan bargaining position yang tepat dikemudian hari. Setiap negara hanya perlu menunggu hingga tahun 2048 untuk memastikan akan dibawa ke mana Antartika.
Untuk daerah Arktik, para ilmuwan menemuk polutan yang dinamakan black carbon seperti bentuk jelaga yang memasuki atmosfer dari pembakaran bahan bakar fosil, biofuel, dan biomassa yang tidak lengkap. Polutan semacam itu dapat menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan bagi manusia serta hewan dan tumbuhan di ekosistem Arktik.
Ketegangan antara membuka dan menyelamatkan Arktik memberi tekanan pada struktur pemerintahan regional dan internasional. Pengambil keputusan di tingkat lokal, nasional, regional, dan global bergantung pada penilaian perubahan iklim serta proyeksi iklim di masa depan. Kondisi ini juga dapat direfleksikan dengan situasi Antartika setelah tahun 2048. Dalam hal ini perubahan iklim yang dialami dan diantisipasi pada akhirnya akan menunjukan potensi untuk memengaruhi status quo tata kelola di Kutub.
Penulis: Rafi Widyadhana S.; Editor: G.Giovani Yudha B dan Yundira Putri R; Perancang Visual: Zaki Khudzaifi dan Yundira Putri R
Referensi
Antarctic and Southern Ocean Coalition. (20 April 2014). The Antarctic Oil Myth. Diambil dari https://www.asoc.org/component/content/article/9-blog/1184-the-antarctic-oil-myth
BBC. (20 Juni 2014). Why do so many nations want a piece of Antarctica?. Diambil dari https://www.bbc.com/news/magazine-27910375
BBC. (4 Juni 2020). Arctic Circle oil spill prompts Putin to declare state of emergency. Diambil dari https://www.bbc.com/news/world-europe-52915807
BBC. (9 Juni 2020). Russian Arctic oil spill pollutes big lake near Norilsk. Diambil dari https://www.bbc.com/news/world-europe-52977740
Depledge, D. (2016). Climate Change, Geopolitics, and Arctic Futures. Environment, Climate Change and International Relations, 162.
Glannvile, H., Cage, A., & Law, A. (14 Juli 2020). A 20,000-tonne oil spill is contaminating the Arctic — it could take decades to clean up. Diambil dari https://theconversation.com/a-20-000-tonne-oil-spill-is-contaminating-the-arctic-it-could-take-decades-to-clean-up-141264
King, H. M. (n.d.). Oil and Natural Gas Resources of the Arctic. Diambil dari https://geology.com/articles/arctic-oil-and-gas/
National Petroleum Council. (2015). Arctic Potential Realizing the Promise of U.S. Arctic Oil and Gas Resources. Diambil dari https://www.npcarcticreport.org/pdf/AR-Executive_Summary-Final.pdf
National Petroleum Council. (2019). Supplemental Assessment to the 2015 Report. Diambil dari https://www.npcarcticreport.org/pdf/2019-Arctic_SA-LoRes.pdf
Sosa-Nunez, G., & Atkins, E. (Eds.). (2016). Environment, Climate Change and International Relations. E-International Relations. Diambil dari http://www.e-ir.info/wp-content/uploads/2016/04/Environment-Climate-Change-and-IR-E-IR.pdf#page=109
Watkins, S. (16 Maret 2020). Russia Makes Move On Antarctica 513 Billion Barrels of Oil. Diambil dari https://oilprice.com/Energy/Crude-Oil/Russia-Makes-Move-On-Antarcticas-513-Billion-Barrels-Of-Oil.html