China Kembali Langgar Wilayah Teritori Laut Indonesia
Kapal coast guard China kembali memasuki perairan Indonesia di Natuna Utara. Pada Sabtu (12/09) pukul 10:00 WIB, KN Nipah 321 Bakamla RI mendapati Kapal Coast Guard China berkeliaran di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Kapal dengan nomor lambung 5204 terdeteksi di radar dan automatic identification system (AIS) oleh KN Nipah. Kapal tersebut tetap bertahan di perairan hingga hari Minggu (13/09) meski sudah diperingatkan untuk pergi.
Kronologi
Saat itu, KN Nipah 321 milik Indonesia tengah menggelar Operasi Cegah Tangkal tahun 2020 di wilayah Zona Maritim Barat. Personel KN Nipah kemudian membangun komunikasi dengan awak coast guard China melalui radio VHF channel 16. Komunikasi dilakukan sebagai upaya persuasif mengusir kapal tersebut dari Laut Natuna Utara.
Saat diminta untuk meninggalkan Laut Natuna Utara, awak coast guard China berdalih tidak melanggar aturan karena melakukan patroli di wilayah Nine Dash Line yang diklaim sebagai wilayah teritorinya. Pada saat pengusiran, Bakamla RI menyampaikan bahwa berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on The Law of The Sea), Nine Dash Line tidak diakui keberadaannya.
KN Nipah terus berupaya menghalau CCG 5204 milik China keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia. Upaya berikutnya pun dilakukan Bakamla melalui koordinasi dengan berbagai lintas sektor. Mulai dari TNI Angkatan Laut (AL), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Setelah bertahan sekitar 48 jam,kapal coast guard China tersebut perlahan menjauh dan hengkang dari Laut Natuna Utara pada Senin siang. “CCG 5204 dipantau telah bergerak ke utara menjauhi ZEE Indonesia, KN Nipah terus mengamati bersama KRI Imam Bonjol-383 yang juga melaksanakan patroli mem-backup di belakang kapal Bakamla,” ujar Kabag Humas dan Protokol Bakamla RI, Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita.
Setelah CCG 5204 keluar dari wilayah yuridiksi Indonesia, KN Nipah 321 melanjutkan patroli di wilayah perbatasan ZEE Indonesia. Dua kapal milik Bakamla masih berkeliling dan melakukan patrol setelah berhasil mengusir Kapal China dari wilayah ZEE Indonesia. Bakamla juga telah menghubungi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono terkait masuknya kapal coast guard China ke wilayah ZEE Indonesia. Pihak TNI AL, langsung bergerak dan ikut mengirimkan kapal guna memantau wilayah perairan itu.
Respons Kementerian Luar Negeri
Melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, menyampaikan bahwa Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah memanggil Perwakilan China di Jakarta untuk membahas masalah ini.
Kedutaan Besar China di Jakarta sendiri telah memberi tanggapan, hal-hal yang disampaikan oleh RI akan dilaporkan ke Beijing. Sebelumnya, Faizasyah juga mengatakan Kemlu telah menyampaikan langkah resmi ke China soal isu tersebut setelah menerima laporan dari Bakamla.
“Kemlu menegaskan kembali kepada Wakil Dubes RRC bahwa ZEE Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih perairan dengan RRC dan menolak klaim Nine Dash Line China karena bertentangan dengan UNCLOS 1982,” ujar Faizasyah.
Kedua Kali
Kejadian kapal berbendera China memasuki perairan RI ini, bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada akhir tahun lalu, kapal pencari ikan dan coast guard milik China juga berlayar di kawasan perairan Natuna. Indonesia bahkan sampai mengirimkan protes keras ke China karena melanggar ZEE RI pada 30 Desember 2019 lalu.
Melalui Kementerian Luar Negeri, RI memberi nota keberatan dan juga memanggil Duta Besar China. Pasca kejadian itu, TNI dan Bakamla juga terus disiagakan di Perairan Natuna yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau, untuk memantau kondisi.
Merespons hal tersebut, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo langsung melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada 8 Januari 2020. Kunjungan itu terbilang cukup berhasil karena setelahnya China mengungkapkan bahwa masalah tersebut hanya perlu diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara kedua negara.
Nine Dash Line
Nine Dash Line merupakan klaim sepihak China atas kontrol wilayah dengan sembilan garis putus-putus yang digambar dalam peta pemerintah China. Garis putus-putus tersebut menandakan klaim China atas wilayah Laut China Selatan. China sendiri disebut tidak menetapkan dengan jelas koordinat untuk pulau atau garis dasar klaimnya.
Perubahan Nama Laut China Selatan
Pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru. Peta baru tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan ZEE Indonesia.
Penamaan tersebut dilakukan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia, bukan wilayah Laut China Selatan secara keseluruhan. Laut China Selatan merupakan wilayah laut semi tertutup yang terletak di sebelah barat Samudera Pasifik dan dikelilingi oleh daratan Asia Tenggara. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan, ada beberapa hal baru yang menyebabkan peta NKRI harus diperbaharui.
“Pertama, ada perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah berlaku yakni antara Indonesia-Singapura sisi barat dan sisi timur,” ujar Havas dalam pemberitaan Kompas.com, 15 Juli 2017. Perjanjian batas ZEE Indonesia dan Filipina juga sudah disepakati bersama dan sudah diratifikasi.
Namun, keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menganggap pergantian penyebutan nama itu tak masuk akal dan tidak sesuai dengan upaya standarisasi mengenai penyebutan wilayah internasional. Saat ini, Indonesia tetap menyebut laut China Selatan yang berada di wilayah NKRI sebagai Laut Natuna Utara. Tetapi, nama tersebut belum disahkan di International Hydrographic Organization (IHO).
Keterlibatan ASEAN
Klaim China di wilayah Laut China Selatan sangatlah luas, mencakup sekitar 90% kawasan. Mulai dari Kepulauan Paracel yang diduduki China dan kemudian diklaim Vietnam dan Taiwan, hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, sebelumnya China dan ASEAN telah mengupayakan pembentukan kode etik atau code of conduct mengenai Laut China Selatan. Di mana pada 2002, semua pihak telah sepakat soal pembentukan seperangkat pedoman yang dikenal sebagai Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan. Deklarasi yang dibuat pada November 2002 ini bertujuan untuk mempromosikan lingkungan yang damai, bersahabat dan harmonis di Laut China Selatan untuk meningkatkan stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di kawasan. Selanjutnya, pada pertemuan antara China dan ASEAN pada tahun 2018, Perdana Menteri China Li Keqiang mengusulkan bahwa code of conduct tersebut harus diselesaikan pada tahun 2021.
Pada tahun 2020, pihak-pihak yang terlibat juga kembali membahas perkembangan dalam pembentukan kode etik tersebut. Dimana China mengatakan negaranya ingin menyelesaikan pembentukan kode etik atau code of conduct terkait Laut China Selatan secepatnya. Hal ini ditujukan demi menghindari bentrokan di kawasan yang diperebutkannya dengan sejumlah negara tersebut. “China harus menyelesaikan kode etik dengan negara-negara ASEAN secepat mungkin untuk menciptakan seperangkat aturan yang mencerminkan karakteristik kawasan itu,” kata Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pada Kamis (10/9).
Penulis: Muhammad Firjatullah, Editor: G. Giovani Yudha B. & Cynthia Eka W, Perancang Visual: Zaki Khudzaifi & Yundira Putri.
Referensi
CNN. (2020, September 8). Menhan China Temui Prabowo terkait Laut China Selatan. Diakses dari CNN: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200908184241-113-544171/menhan-china-temui-prabowo-terkait-laut-china-selatan
CNN. (2020, September 15). Usai Bakamla Usir Kapal China, TNI AL Bantu Pantau Natuna. Diakses dari CNN: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200915105342-20-546589/usai-bakamla-usir-kapal-china-tni-al-bantu-pantau-natuna
DW. (2015, Juli 27). China’s nine-dashed line has ‘no basis under international law’. Diakses dari DW: https://www.dw.com/en/chinas-nine-dashed-line-has-no-basis-under-international-law/a-18609290
Kompas.com. (2020, September 15). Saat Bakamla dan Coast Guard China Bersitegang di Laut Natuna Utara. Diakses dari Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/15/06205561/saat-bakamla-dan-coast-guard-china-bersitegang-di-laut-natuna-utara?page=all
Kusumo, R. (2020, September 13). Diusir Tak Mau Pergi, Ini Penampakan Kapal China di Natuna RI. Diakses dari CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200913111517-4-186428/diusir-tak-mau-pergi-ini-penampakan-kapal-china-di-natuna-ri
Pratama, A. (2020, September 13). Lagi dan Lagi Kapal China Masuk Natuna RI, Ini Kronologinya. Diakses dari CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200913204727-16-186484/lagi-dan-lagi-kapal-china-masuk-natuna-ri-ini-kronologinya
Sebayang, R. (2020, September 14). Heboh China Kembali Klaim Natuna RI, Ini Fakta-faktanya! Diakses dari CNBC : https://www.cnbcindonesia.com/news/20200914093939-4-186529/heboh-china-kembali-klaim-natuna-ri-ini-fakta-faktanya
Sebayang, R. (2020, September 15). Top RI! Bakamla Usir Kapal China dari Natuna Utara. Diakses dari CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200915062447-4-186805/top-ri-bakamla-usir-kapal-china-dari-natuna-utara
Sef. (2020, September 14). Parah! Kapal China Masuk RI, Klaim Natuna, Diusir Tak Mau. Diakses dari CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200914062050-4-186492/parah-kapal-china-masuk-ri-klaim-natuna-diusir-tak-mau