Dedolarisasi Indonesia
Dalam upaya menekan penggunaan dan ketergantungan terhadap dolar AS, Indonesia mulai bergerak dalam mengganti Dollar Amerika Serikat (USD) sebagai standar nilai tukar mata uang.
Indonesia telah berkomitmen dengan berbagai macam cara untuk menekan penggunaan terhadap dolar AS. Mulai dari metode yang digunakan yaitu Jaringan Pengaman Keuangan Indonesia (JPKI) sebagai second line of defense dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral. Kerja sama keuangan JPKI ditujukan guna mendukung pengelolaan cadangan devisa dalam rangka mengatasi permasalahan neraca pembayaran yang pada akhirnya mampu mendukung stabilitas moneter dan keuangan.
Dalam rangka mengurangi fluktuasi dan penggunaan mata uang dolar AS, Bank Indonesia (BI) terus memperkuat kerja sama bilateral dengan bank sentral negara mitra untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi bilateral.
JPKI juga meningkatkan penggunaan mata uang lokal (local currency settlement/LCS). Dalam hal ini LCS yaitu penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara yang dilakukan di dalam wilayah salah satu negara, dengan menggunakan mata uang negara tersebut. LCS diperlukan untuk mengurangi ketergantungan akan mata uang utama dunia dalam perdagangan antarnegara dan meningkatkan jumlah perdagangan antarnegara Asia, termasuk indonesia, hingga mencapai 25% dari perdagangan dunia
Seperti pada 14 Oktober 2018, BI dan Bank Sentral Jepang telah menandatangani amandemen perjanjian Bilateral Swap Arrangement senilai USD 22,76 miliar. Amandemen perjanjian ini memungkinkan Indonesia untuk melakukan swap mata uang Rupiah dengan USD dan/atau Yen Jepang (JPY), dari yang sebelumnya hanya USD. Kerja sama BSA tersebut merupakan kerja sama swap USD/JPY versus rupiah untuk keperluan pencegahan dan penanganan krisis dan bersifat satu arah.
Arah kerja sama semakin positif pada akhir Agustus 2020 bahwa BI dan Kementerian Keuangan Jepang telah menyepakati penyelesaian transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal. Artinya, setiap transaksi perdagangan dan investasi yang dilakukan keduanya menggunakan mata uang lokal Rupiah dan Yen.
Kerangka kerja ini disusun berdasarkan nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang pada 5 Desember 2019. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Jepang telah menunjuk beberapa bank di negara masing-masing untuk berperan sebagai Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Bank-bank tersebut dipandang telah memenuhi syarat dan memiliki kemampuan untuk memfasilitasi transaksi antara Rupiah dan Yen sesuai kerangka kerja.
Tidak hanya Jepang, Malaysia dan Thailand juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Indonesia terkait LCS. Pada bulan Maret lalu, BI dan Bank Sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) sepakat untuk memperpanjang perjanjian penyediaan likuiditas perdagangan dengan mata uang lokal atau Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA).
Sebagaimana perjanjian sebelumnya, tujuan kerja sama BCSA ini adalah untuk mendorong perdagangan bilateral dan memperkuat kerja sama keuangan yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi kedua negara. Kerja sama BCSA ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral.
Kemudian dengan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kerja sama swap terbaru ditandatangani pada Agustus 2018 lalu, dan berlaku selama 3 tahun. Nilai kerja sama ini mencapai AU$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun. Aktivitas yang dilakukan seperti JPKI, LCS, BSA hingga BCSA menjadi cara Indonesia untuk menanggulangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Ketergantungan terhadap dolar AS memiliki beberapa dampak negatif seperti dapat menyebabkan potensi peningkatan volatilitas dari mata uang negara berkembang termasuk rupiah.
“Apabila terjadi sentimen negatif yang berkembang di pasar keuangan global akan memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang yang pada akhirnya akan mendorog peningkatan volatilitas” ujar Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede.
Dampak buruk lainnya, menurut Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira adalah pelemahan bagi fundamental ekonomi nasional, sekaligus menyatakan
“Pemakaian dolar yang berlebihan akan membuat fundamental ekonomi melemah dalam jangka panjang. Bayangkan ketika terjadi penguatan kurs dolar secara signifikan maka rupiah akan terdepresiasi cukup dalam. Biaya impor bahan baku dan beban pinjaman baik pemerintah maupun swasta akan meningkat tajam,”
Terakhir, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, mengatakan dampak buruk dari ketergantungan terhadap dolar AS adalah kehilangan potensi kerja sama ekonomi dengan negara lain yang tidak menggunakan dolar AS dalam transaksi bilateralnya seperti dengan China.
Referensi
Julita. L. (31 Agustus 2020). RI & Jepang Makin Akrab, Sepakat Tinggalkan Dolar AS!. Diambil dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20200831162959-17-183334/ri-jepang-makin-akrab-sepakat-tinggalkan-dolar-as
Novika, S. (1 September 2020). Ini Dampak Buruk Kalau Dagang Ketergantungan Dolar AS. Diambil dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5155103/ini-dampak-buruk-kalau-dagang-ketergantungan-dolar-as
Pransuamitra, P. A. (1 September 2020). Tak Cuma Jepang, 5 Negara Sepakat dengan RI Tinggalkan Dolar. Diambil dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20200901141849-17-183574/tak-cuma-jepang-5-negara-sepakat-dengan-ri-tinggalkan-dolar
Setiaji, H. (7 September 2020). Sri Mulyani Sukses Tenangkan Pasar, Rupiah Menguat! Diambil dari https://www.cnbcindonesia.com/market/20200907074625-17-184778/sri-mulyani-sukses-tenangkan-pasar-rupiah-menguat
Vianty, I. (2018). Kerja Sama Keuangan Internasional Bank Indonesia: Jaring Pengaman Keuangan Internasional dan Local Currency Settlement. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (IV). Diambil dari https://www.bi.go.id/id/publikasi/ekonomi-keuangan-kerjasama-internasional/Documents/8-PEKKI-EDISI-IV-2018-Bab-5-Artikel.pdf