Get to Know: Austrian Neutrality

Ruang Diskusi
4 min readJul 22, 2020

--

Setelah meninggalnya Stalin pada tahun 1953, Khrushchev mengisyaratkan bahwa akan menarik tentara dari Austria dan menjadikan Austria sebagai negara netral seperti Swiss. Dua tahun setelah itu pada April 1955, delegasi Austria (Chancellor Raab, Deputy Chancellor Schärf, Foreign Minister Figl, Secretary of State Kreisky) datang ke Moskwa untuk melakukan negosiasi terkait rencana posisi Austria menjadi negara netral. Hasil negosiasi tersebut kemudian tertuang dalam Memorandum Moskwa.

Pada 15 Mei 1955, Austria mengadakan negosiasi perjanjian dengan Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis atas keputusannya yang akan mengadopsi status netralitas mengikuti tindakan Swiss. Hal ini selanjutnya tertulis sebagai Austrian State Treaty.

Pasca-perjanjian tersebut, tanggal 26 Oktober 1955 menjadi hari pertama di Austria tanpa adanya pasukan asing. Momen ini kemudian digunakan oleh Parlemen Austria untuk mengadopsi Undang-Undang Konstitusi tentang Netralitas Austria. Dalam peraturan konstitusi itu, Austria menyatakan netralitas permanan dan berkomitmen mempertahankan netralitasnya. Melalui peraturan tersebut, Austria menyatakan tidak akan pernah menyetujui untuk beraliansi militer ataupun mengizinkan berdirinya pangkalan militer negara lain di wilayah negaranya.

Netralitas dalam Hubungan Internasional

Secara historis, praktik netralitas dikembangkan di Italia dan Prancis pada abad ke-16. Saat itu muncul perdebatan antara sistem perimbangan kekuasaan (balance of power) dan kepentingan negara (state interests).

Pandangan pertama datang dari ahli teori asal Prancis, Jean Bodin, yang melihat netralitas sebagai instrumen yang berguna untuk menghindari konflik. Menurut Jean Bodin, negara netral dapat menjadi mediator atau penengah antara negara-negara yang terlibat dalam perperangan serta dapat menjadi penyeimbang untuk menghindari dominasi hegemony.

Pandangan kedua datang dari ahli teori politik asal Italia, Niccolò Machiavelli, yang mengatakan bahwa netralitas dapat menjadi alat serta sarana yang dapat melindungi kekuatan negara dan dapat menjauhkan negara dari konflik. Negara netral dianggap berperan penting dalam sistem balance of power sebagai mediator. Ketika terdapat dua negara berusaha berkompetisi mengimbangi power satu sama lain, maka negara netral memiliki pengaruh terhadap hasil kompetisi dari kedua pihak yang bertikai.

Dengan adanya status netralitas, maka Austria harus dapat bersikap netral ketika terjadi perang. Selain itu, ketika masa damai berlangsung Austria juga tidak diizinkan untuk mengikuti kebijakan yang dapat membuatnya dapat terlibat dalam perang. Dengan kata lain, status ini membuat negara:

  1. Tidak dapat melakukan aliansi militer, baik offensive maupun defensive;
  2. Tidak dapat terlibat dalam perjanjian bantuan militer;
  3. Tidak ada perjanjian protektorat atau jaminan keamanan dengan negara lain;
  4. Tidak mengizinkan adanya pendirian pangkalan militer negara lain di wilayahnya.

Negara yang menganut status ini juga tidak dapat membiarkan pasukan militer negara asing mengudara di wilayahnya, bahkan jika pasukan tersebut diperintahkan oleh organisasi internasional. Jika ada pesawat militer asing ingin mengudara di wilayah Austria maka dibutuhkan adanya legal assessment terlebih dahulu.

Namun jika terjadi serangan kepada negara penganut netralitas permanen, maka negara tersebut wajib berperang melawan untuk mempertahankan status netralitas permanennya. Sehingga negara dengan status ini tetap memerlukan pasukan yang memadai dan persiapan militer yang baik agar dapat mempertahankan diri. Hal ini sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Artikel 51, yang mengatakan bahwa setiap negara berhak untuk membela diri jika ada serangan (self-defense).

Dengan adanya netralitas permanen, pada dasarnya negara telah kehilangan hak untuk berperang atau memulai peperangan, kecuali untuk mempertahankan diri. Apabila negara netralitas permanen memulai perang maka perang tersebut termasuk ilegal, namun ketika perang itu tetap berlangsung maka hukum perang tetap berlaku.

Sedangkan, dalam semua aspek non-militer, negara tetap memiliki hak untuk melakukan kebijakan internal dan luar negeri yang dianggap sesuai. Negara tetap dapat berpartisipasi dalam perjanjian umum, regional, dan organisasi internasional yang bersifat non-militer. Selain itu negara dengan status ini, tidak memiliki kewajiban netralitas dalam memandang ideologi dan tidak ada kewajiban untuk membatasi kebebasan pers dan opini.

Bagaimana Tanggapan EU?

Bagi Austria, tahun 2020 ditandai sebagai perayaan 65 tahun negaranya menganut netralitas permanen. Beberapa pihak mengatakan bahwa Austria tidak sepenuhnya menjadi negara netral karena dalam Europian Union (EU) terdapat mutual defense clause (Artikel 42(7) pada Perjanjian terkait EU). Klausa tersebut menyatakan bahwa jika terdapat negara EU menjadi korban agresi militer, maka negara Uni Eropa lainnya berkewajiban (secara mengikat) untuk membantu dengan segala power yang dimiliki.

Menurut EU, hal ini tidak mempegaruhi posisi negara EU dalam menerapkan status netral dan beberapa negara lainnya yang berkomitmen sebagai anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). Hal ini seolah menjawab argumen pihak-pihak yang menyatakan bahwa Austria tidak sepenuhnya netral, karena pihak EU sendiri menyatakan bahwa klausa turut mempertimbangkan posisi negara-negara yang mengadopsi status netral.

Netralitas Austria Pada Abad ke-21

Posisi netralitas sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menarik pada tatanan dunia multipolar. Pada era saat ini, negara-negara yang mengadopsi status netral secara historis dipandang telah memainkan setidaknya tiga peran yaitu sebagai pembatas antara blok yang bertikai (seperti antara NATO dan Pakta Warsawa dahulu), sebagai perantara untuk melakukan dialog, dan sebagai pihak yang mendorong munculnya ide-ide baru. Status neutralitas ini juga turut berperan dalam institusi multilateral melalui misi menjaga perdamaian. Austria sendiri telah aktif berpartisipasi dalam operasi menjaga perdamaian sejak tahun 1960. Sudah lebih dari 90.000 orang Austria, baik tentara dan sipil, membantu lebih dari 50 misi perdamaian dan kemanusiaan internasional. Beberapa orang Austria bahkan ditunjuk untuk menjadi pemimpin pasukan operasi perdamaian oleh Sekretaris Jenderal PBB.

Sampai saat ini Austria masih terus memperkuat status netralnya dengan menghindari bergabung dengan aliansi militer, melarang adanya tentara negara asing untuk hadir di wilayah Austria, dan tidak melibatkan diri dalam perang manapun.

Penulis: Cynthia Eka Wahyuni; Editor: Yundira Putri Rahmadianti dan G.Giovani Yudha B; Perancang Visual: Zaki Khudzaifi dan Yundira Putri Rahmadanti

Referensi

Kunz, J. L. (1956). Austria’s Permanent Neutrality. The American Journal of International Law, 50(2), 418. doi:10.2307/2194959

Laman Demokratiezentrum. (n.d). The Austrian neutrality and its foreign policy. Diakses dari http://www.demokratiezentrum.org/en/knowledge/timelines/the-austrian-neutrality-and-its-foreign-policy.html

Laman EUR-Lex. (n.d). Mutual Defense Clause. Diakses dari https://eur-lex.europa.eu/summary/glossary/mutual_defence.html#:~:text=This%20clause%20provides%20that%20if,binding%20on%20all%20EU%20countries.

Laman Federal Ministry Republic of Austria. (n.d). Peacekeeping Operations. Diakses dari https://www.bmeia.gv.at/en/european-foreign-policy/peacekeeping-operations/

McGrath, P. (March 16, 2020). Friends with Enemies: Neutrality and Non-Alignment Then and Now. International Institute for Peace. Diakses dari https://www.iipvienna.com/news-reports-publications/2020/3/16/friends-with-enemies-neutrality-and-nonalignment-then-and-now-conferencenbspconclusionsnbsp-c738b

Tichy, H. (n.d). Austria’s Permanent Neutrality. Diakses dari http://www.austrianinformation.org/winter-2015-16/wc55d7qi5qrmyzmxh1qkofcmsluxvj

--

--

Ruang Diskusi
Ruang Diskusi

Written by Ruang Diskusi

Halo Kawan Diskusi, follow juga instagram kami ya https://instagram.com/ru.dis

No responses yet