Kembali ke Paris Agreement, Komitmen AS Memperbaiki Masalah Lingkungan Global?

Ruang Diskusi
7 min readFeb 4, 2021

--

Dilantiknya Presiden baru Amerika Serikat, Joe Biden membawa perubahan cukup signifikan terhadap kebijakan-kebijakan global Amerika Serikat (AS). Salah satunya yaitu kebijakan AS yang keluar dari Kesepakatan Iklim Paris atau ‘Paris Agreement’ saat masa pemerintahan Donald Trump. Joe Biden yang baru saja dilantik pada Rabu (20/1), menyampaikan bahwa AS akan segera kembali bergabung ke dalam Paris Agreement sebagai salah satu upaya untuk memerangi masalah lingkungan.

Pada masa pemerintahan sebelumnya, AS melalui presiden Donald Trump mengumumkan akan menarik diri dari Paris Agreement. Hal ini dikarenakan menurut Trump, poin-poin kesepakatan dalam Paris Agreement memposisikan AS sebagai pihak yang paling dirugikan secara ekonomi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Trump kerap menyoroti hilangnya lapangan pekerjaan, rendahnya upah, hingga turunnya produksi industri sebagai dampak kerugian yang diterima AS.

Keluarnya AS dari Paris Agreement menimbulkan konsekuensi bagi lingkungan. AS merupakan salah satu negara emitor yang berkontribusi cukup besar bagi permasalahan iklim global. AS diketahui menyumbang 16% emisi karbon global dan tercatat sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah China.

Pangsa emisi global yang disumbang oleh beberapa negara di dunia.
Pangsa emisi global yang disumbang oleh beberapa negara di dunia (Sc: CNBC Indonesia).

Melihat signifikansi dari dampak yang ditimbulkan AS terhadap permasalahan lingkungan, maka kabar AS kembali meratifikasi Paris Agreement menjadi angin segar bagi banyak pihak, utamanya pemerhati lingkungan di kancah internasional yang terus berupaya memerangi permasalahan iklim. Beberapa pihak yang langsung memberikan respon positif terhadap kebijakan ini adalah negara-negara Eropa. Melalui Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen menyatakan senang dengan keputusan yang diambil pemerintahan Presiden Joe Biden untuk membawa AS kembali ke dalam Paris Agreement.

Joe Biden telah menandatangani perintah eksekutif untuk bergabung kembali dengan Paris Agreement di hari pertama Ia menjabat sebagai presiden AS, pada 20 Januari 2021. Departemen Luar Negeri AS juga telah mengirimkan dokumen yang diperlukan untuk kembali bergabung ke Paris Agreement. Dokumen tersebut berisi pernyataan bahwa AS akan bergabung kembali pada 19 Februari 2021 atau 107 hari setelah keluar dari perjanjian itu.

Alasan AS Keluar dari Paris Agreement

Dalam upaya pelaksanaan aturan-aturan yang ada di dalam Paris Agreement, terdapat banyak hambatan yang ditemui. Hal ini umumnya disebabkan karena kepentingan-kepentingan aktor internasional yang sering kali bersebrangan dengan aturan dalam Paris Agreement.

Salah satu contohnya adalah pada saat AS keluar dari Paris Agreement di bawah pemerintahan Donald Trump. Trump secara terbuka menyatakan bahwa Paris Agreement telah merugikan AS dari aspek ekonomi. Trump menilai beberapa poin di dalam Paris Agreement secara tak langsung mengakibatkan turunnya performa industri-industri lokal AS. Hal ini dikarenakan tujuan dari Kesepakatan Iklim tersebut memang untuk menekan tingkat keluaran emisi & polusi di udara.

Menurut studi yang dilakukan oleh The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebesar 65% emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh dua sektor, yakni konsumsi bahan bakar fosil untuk kendaraan dan aktivitas industri. Terkait konsumsi bahan bakar fosil, Amerika merupakan negara dengan konsumsi bahan bakar fosil terbesar kedua di dunia setelah China hingga tahun 2018. Sehingga, tuntutan untuk mengurangi emisi memiliki arti yang sama dengan mengurangi aktivitas penggunaan bahan bakar fosil di kedua sektor.

Melansir dari Laporan BP Statistical Review of World Energy 2019, konsumsi bahan bakar fosil AS 2018 mencapai 1,9 miliar ton ekuivalen minyak atau 16,5% dari total konsumsi bahan bakar fosil dunia. Lebih lanjut, konsumsi bahan bakar fosil Amerika Serikat naik 3,78% dari tahun 2017 ke 2018. BP juga mencatat bahwa konsumsi minyak bumi dan gas alam AS naik masing-masing 1,96% dan 10,51%, sementara itu konsumsi batu bara turun 4,32% pada periode 2017–2018.

AS, sebagai salah satu negara industri terbesar dunia yang bergantung kepada penggunaan bahan bakar fosil untuk menjaga roda perekonomiannya tetap bergulir. Inilah yang menjadi dasar Trump mengeluarkan kebijakan menarik AS dari Paris Agreement. Peningkatan ekonomi memang menjadi keprihatinan utama dari kebijakan AS di masa Trump. Mengikuti semua aturan yang ada di dalam Paris Agreement tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS mengingat industrinya masih bergantung kepada bahan bakar fosil.

Masalah lingkungan global memang dapat menyebabkan konflik kepentingan bagi negara industri besar seperti AS. Bahkan hal ini terlihat ketika AS menjadi tuan rumah dalam pertemuan G7 di tahun 2020, di mana isu perubahan iklim tidak diangkat sebagai pokok diskusi. Hal ini mampu mengindikasikan bahwa Trump memang kurang memfokuskan isu-isu lingkungan dalam agendanya. Trump lebih fokus terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana ia selalu berupaya mengejar target pertumbuhan ekonomi AS sebesar 3% per tahun.

Lalu, Mengapa AS Kembali?

Kembalinya AS ke dalam Paris Agreement setelah sebelumnya memutuskan keluar menuai berbagai reaksi dan pandangan, terutama terkait alasan kenapa mereka mau kembali, serta apa tujuan mereka selanjutnya?

Alasan dan tujuan kembalinya AS menjadi hal yang menarik untuk dibahas, terlebih hal ini dapat memberikan gambaran mengenai langkah apa yang akan dilakukan pemerintahan Joe Biden setelah bergabung kembali ke dalam Paris Agreement.

Morgan Bazilian, Professor of Public Policy, and Director of the Payne Institute, dari Colorado School of Mines memberikan pandangannya terkait kembalinya AS ke dalam Paris Agrement. Menurutnya, salah satu aspek yang dikejar AS dari kebijakan ini adalah kepentingan diplomasi. Bukan hal mudah untuk mencoba membangun kembali kedudukan internasional untuk negara yang membantu membawa dunia ke dalam Paris Agreement dan kemudian tiba-tiba meninggalkannya. Morgan berpendapat bahwa Paris Agreement tidak pernah menjadi ancaman, keluarnya AS pada masa pemerintahan Trump adalah teater dan kesombongan.

Dengan bergabung kembali ke panggung global melalui Paris Agreement, AS dapat membangun kembali aliansi diplomatik dan regulasi secara lebih baik. Biden memposisikan AS untuk mendapatkan kembali posisi kompetitifnya dalam perlombaan global untuk meraup keuntungan ekonomi dari transisi ke net-zero world. Hal ini menjadi alasan mengapa penting bagi Biden untuk menunjuk mantan Menteri Luar Negeri John Kerry sebagai utusan presiden untuk bidang iklim. Sebagai salah satu ‘arsitek’ Paris Agreement, Kerry memiliki pengalaman dan hubungan untuk membantu memulihkan kepemimpinan iklim AS di dunia.

Namun meskipun sudah kembali bergabung, Edward Carr, Profesor dan Direktur Pembangunan Internasional, Komunitas dan Lingkungan, Universitas Clark berpendapat hal itu tidak akan mengembalikan Amerika Serikat ke posisi kepemimpinan global dalam perubahan iklim.

Untuk mengukur keseriusan pemerintahan Biden, negara lain akan mencermati dua hal. Pertama, akankah AS memperkuat komitmennya untuk mendekarbonisasi ekonominya? Mengingat pada masa pemerintahan sebelumnya, aturan di dalam Paris Agreement bersebrangan dengan kepentingan ekonomi AS. Tentu ini akan menjadi ujian besar untuk AS apakah mereka siap menghadapi tantangan yang mungkin muncul untuk perekonomian negara.

Kedua, akankah pemerintah Biden berinvestasi besar-besaran dalam upaya menyelesaikan permasalahan lingkungan di dalam dan luar negeri? Sebuah badan penelitian yang berkembang menunjukkan bahwa dampak terburuk dari perubahan iklim ditanggung oleh orang-orang yang paling miskin dan paling rentan . Lebih lanjut, dampak tersebut cenderung memperburuk ketimpangan yang ada. Dunia harus melihat apakah perhatiannya pada keadilan dan kesetaraan meluas ke dampak perubahan iklim.

Kembali ke Paris Agreement adalah langkah awal yang baik. Namun, tanpa langkah tambahan yang jelas dan konkret, itu akan terlihat hampa dan bisa semakin mengikis kredibilitas AS.

Soal Apa dan Mengapa Paris Agreement

Pemanasan global atau perubahan iklim akibat emisi karbon industri dan agrikultur menjadi isu yang sangat disorot oleh dunia internasional, mengingat dampak yang ditimbulkan memang sangat mengerikan. Kepunahan masal spesies yang hidup di bumi termasuk manusia jadi pertaruhannya.

Untuk mencegah pemanasan global menjadi semakin parah, berbagai negara di dunia ini membuat kesepakatan bersama salah satunya melalui Paris Agreement atau Perjanjian Paris. Perjanjian Paris merupakan bentuk kesepakatan yang mengikat 188 negara dengan tujuan utama untuk mengurangi emisi karbon.

Perjanjian Paris melahirkan empat kesepakatan utama yang mengikat 188 negara termasuk AS seperti berikut:

• Menjaga temperatur tetap berada < 2C di atas waktu pra-industri dan lebih baik dapat menurunkan temperatur hingga 1.5C

• Berdasarkan perjanjian tersebut, setiap negara menetapkan target pengurangan emisinya sendiri, yang dikenal sebagai kontribusi yang ditentukan nasional (NDC), yang ditinjau setiap lima tahun untuk meningkatkan ambisi.

• Membatasi emisi gas rumah kaca akibat aktivitas antropogenik pada batas yang masih dapat diserap oleh tumbuhan, tanah dan laut dalam keadaan normal

• Mendorong negara-negara maju untuk menyediakan suplai keuangan bagi negara berkembang, dan membantu negara-negara tersebut beradaptasi dengan perubahan iklim dan beralih ke energi terbarukan.

Bagaimana Komitmen AS dalam Paris Agrement Kedepannya?

Bergabungnya kembali AS ke dalam Paris Agreement tentu memberikan harapan baru. Sebagai negara besar, tentu komitmen AS akan sangat berpengaruh terhadap penanggulangan masalah lingkungan global dengan adanya figur pemimpin dalam rezim internasional ini. Namun meski begitu, kembalinya AS ke dalam Paris Agreement belum cukup menjamin penyelesaian tuntas bagi permasalahan lingkungan global. Hal ini bergantung terhadap bagaimana komitmen AS dalam mematuhinya di tingkat domestik, serta upaya penegakkan rezim tersebut bersama semua pihak yang meratifikasinya.

Penulis: M. Firjatullah
Editor: M. Farhan Triandi

Referensi

Balassa, B. (2011). The Theory of Economic Integration. Routledge Revivals.

Citradi, T. (2019, November 6). AS Keluar dari Paris Agreement, Apa Konsekuensinya? Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20191106145717-4-113157/as-keluar-dari-paris-agreement-apa-konsekuensinya/2

Depledge, J. (2006). Against the grain: the United States and. Routledge.

Lubber, M. L. (2020, Desember 10). Why Rejoining The Paris Agreement Is So Important For The U.S. Retrieved from Forbes: https://www.forbes.com/sites/mindylubber/2020/12/10/why-rejoining-the-paris-agreement-is-so-important-for-the-us/?sh=59d0282405fb

Sebayang, R. (2021, Januari 26). Presiden Komisi Eropa Senang AS Kembali ke Perjanjian Paris . Retrieved from IDN Times: https://www.idntimes.com/news/world/rehia-indrayanti-br-sebayang/presiden-komisi-eropa-senang-as-kembali-ke-perjanjian-paris/3

Terhalle, M., & Depledge, J. (2013). Great-power politics, order transition, and climate governance: insights from international relations theory. Climate Policy.

The Conversation. (2021, Januari 22). Why the US rejoining the Paris climate accord matters at home and abroad — 5 scholars explain. Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/why-the-us-rejoining-the-paris-climate-accord-matters-at-home-and-abroad-5-scholars-explain-153783

Widodo, P. W. (2021, Januari 21). Joe Biden pastikan AS akan kembali bergabung dengan Paris Agreement. Retrieved from Kontan: https://internasional.kontan.co.id/news/joe-biden-pastikan-as-akan-kembali-bergabung-dengan-paris-agreement

--

--

Ruang Diskusi
Ruang Diskusi

Written by Ruang Diskusi

Halo Kawan Diskusi, follow juga instagram kami ya https://instagram.com/ru.dis

No responses yet