Ombang-Ambing Hidup Warga Rohingya
Pada Agustus 2017, penumpasan mematikan oleh tentara Myanmar pada Muslim Rohingya telah membuat ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka mempertaruhkan segalanya untuk melarikan diri melalui laut atau berjalan kaki. Pada Januari 2020, Pengadilan Tinggi PBB meminta Pemerintah Myanmar mengambil langkah-langkah untuk melindungi masyarakat Rohingya dari genosida. Tetapi pemerintah Myanmar mengatakan bahwa mereka sedang memerangi gerilyawan Rohingya dan menyangkal menargetkan warga sipil. Bahkan Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi yang pernah menjadi ikon HAM, telah berulang kali membantah tuduhan genosida tersebut.
Rohingya, yang berjumlah sekitar satu juta jiwa di Myanmar pada awal 2017, adalah salah satu dari banyak etnis minoritas di negara itu. Muslim Rohingya mewakili persentase Muslim terbesar di Myanmar dengan mayoritasnya tinggal di negara bagian Rakhine. Masyarakat Rohingya di Rakhine merupakan keturunan pedagang Arab dan kelompok lainnya telah berada di wilayah tersebut selama beberapa generasi. Mereka pun memiliki bahasa dan budayanya sendiri.
Pemerintah Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya, mengeluarkan mereka dari Sensus 2014, dan menolak untuk mengakuinya sebagai rakyat. Myanmar melihat masyarakat Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Sejak 1970-an, Rohingya telah bermigrasi di seluruh wilayah dalam jumlah yang signifikan. Perkiraan jumlah mereka seringkali jauh lebih tinggi daripada angka resmi. Dalam beberapa tahun belakangan, sebelum krisis terakhir terjadi, ribuan orang Rohingya melakukan perjalanan berbahaya keluar dari Myanmar untuk menghindari kekerasan oleh para tentara Myanmar.
Eksodus dimulai pada 25 Agustus 2017 setelah militan Rohingya, ARSA, melancarkan serangan mematikan di lebih dari 30 pos polisi. Serangan tersebut direspons tentara Myanmar dengan membakar desa, menyerang, serta membunuh warga sipil. Menurut badan amal medis Médecins Sans Frontières (MSF), setidaknya 6.700 masyarakat Rohingya termasuk setidaknya 730 anak di bawah usia lima tahun telah terbunuh di bulan setelah kekerasan itu terjadi. Amnesty International bahkan mengatakan bahwa militer Myanmar juga memperkosa serta melecehkan perempuan dan gadis Rohingya.
Pemerintah Myanmar mengklaim 400 orang meninggal dunia dan menyatakan “operasi pembersihan” terhadap gerilyawan telah berakhir pada 5 September 2017. Namun klaim itu dibantah oleh beberapa pihak yang menyatakan bahwa Myanmar tetap melanjutkan operasi setelah tanggal tersebut. Menurut analisis citra satelit oleh Human Rights Watch (HRW), di negara bagian Rakhine Utara, setidaknya 288 desa hancur sebagian atau seluruhnya karena terbakar setelah Agustus 2017.
Melalui analisis HRW terlihat daerah-daerah di mana desa Rohingya telah menjadi puing-puing membara. Sementara desa-desa etnis Rakhine di dekatnya dibiarkan utuh. Human Rights Watch juga mengatakan sebagian besar kerusakan terjadi di Kotapraja Maungdaw dengan banyak desa yang hancur setelah tanggal diberhentikannya operasi militer tersebut. Hal ini membuktikan bahwa operasi pembersihan tidak selesai sepenuhnya pada tanggal 5 September.
Apa Tanggapan Internasional?
Berdasarkan laporan yang diterbitkan pada Agustus 2018 oleh Penyelidik PBB, militer Myanmar dituduh melakukan pembunuhan massal dan perkosaan dengan niat melakukan genosida. Namun Aung San Suu Kyi menolak tuduhan genosida ketika Ia muncul di pengadilan pada Desember 2019.
Kasus ini juga diajukan oleh negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ke International Court of Justice (ICJ). Mereka menyerukan tindakan darurat untuk segera diambil terhadap militer Myanmar, yang bernama Tatmadaw, sampai penyelidikan yang lebih lengkap dapat dilakukan. Namun pada Januari 2020 putusan awal pengadilan memerintahkan Myanmar untuk mengambil tindakan darurat dengan melindungi warga Rohingya agar tidak dianiaya dan dibunuh.
Sementara ICJ hanya mengatur tentang perselisihan antarnegara, International Criminal Couty (ICC) memiliki wewenang untuk mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan itu menyetujui penyelidikan penuh atas kasus Rohingya di Myanmar pada November. Meskipun Myanmar bukan anggota pengadilan, ICC memutuskan bahwa mereka memiliki yurisdiksi dalam kasus tersebut karena Bangladesh, tempat para korban melarikan diri, adalah negara anggota.
Myanmar telah lama membantah melakukan genosida dan mengatakan sedang melakukan penyelidikan sendiri atas peristiwa Rohingya di tahun 2017. Komisi Penyelidikan Independen Negara Myanmar (Independent Commission of Enquiry) mengakui bahwa anggota pasukan keamanan mungkin telah melakukan “kejahatan perang, pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dan pelanggaran hukum domestik”, tetapi mengklaim tidak ada bukti genosida.
Bagaimana dengan Para Pengungsi?
Sejumlah besar pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh pada tahun 2017 bergabung dengan ratusan ribu orang Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut UNHCR, Kutupalong, Bangladesh, menjadi pemukiman pengungsi terbesar di dunia, bahkan lebih dari 600.000 pengungsi Rohingya tinggal di sana.
Namun pada Maret 2019, Bangladesh mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menerima masyarakat Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Padahal dalam kesepakatan yang dicapai pada awal 2018 bertujuan untuk mengembalikan mereka. Masyarakat Rohingya mengatakan tidak akan mempertimbangkan lagi untuk kembali ke Myanmar kecuali mereka diberi jaminan akan diberi kewarganegaraan.
Di tahun 2020, penderitaan pengungsi Rohingya terus berlanjut. Di tengah ketidakpastian, para pengungsi yang tengah mencari perlindungan justru ditolak oleh beberapa negara seperti Bangladesh dan Malaysia.
Menteri Luar Negeri Bangladesh, Abdul Momen, mengatakan bahwa negaranya tidak akan menerima dua kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya. Dua kapal tersebut berada di perairan internasional setelah mencoba mendaratkan di Malaysia pada pertengahan April. Pemerintah Bangladesh lalu menyelamatkan 382 pengungsi dari kapal lain setelah ditolak oleh pemerintah Malaysia dan Thailand.
Sementara, Pemerintah Malaysia menyatakan penolakannya terhadap pengungsi Rohingya dilakukan atas dasar kekhawatiran terhadap penyebaran virus Corona. Menteri Pertahanan Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, telah menyarankan agar para pengungsi yang diselamatkan harus dikirim kembali ke Bangladesh. Sabri mengatakan Kementerian Luar Negeri Malaysia akan meminta Dhaka untuk mengambil kembali para pengungsi yang ditahan jika mereka diketahui telah meninggalkan kamp-kamp pengungsian. Selain itu, Pemerintah Malaysia juga akan meminta UNHCR untuk memukimkan kembali kelompok pengungsi Rohingya tersebut di negara lain.
Indonesia Menyelamatkan Pengungsi Rohingya
Di tengah penolakan dari berbagai negara, masyarakat Aceh justru menerima hampir 100 orang Rohingya yang terdampar di lepas pantai Indonesia. Masyarakat menjemput para pengungsi dengan menggunakan perahunya sendiri untuk membawa pengungsi ke daratan. Masyarakat yang berkumpul di pantai setempat menyambut baik langkah tersebut. Sebanyak 99 pengungsi warga Rohingya, yang mayoritas perempuan dan anak-anak, tampak kehausan dan kelaparan saat ditemukan di tengah laut sekitar empat mil dari pesisir Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, pada Rabu (24/06).
Para pengungsi sebenarnya bertujuan ke Malaysia dengan harapan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bertemu keluarga mereka di sana, kata salah satu pengungsi. Terombang-ambing di tengah laut yang minim makanan dan minuman, membuat warga sekitar merasa iba dan membawa mereka ke darat. Pemerintah kini menampung pengungsi tersebut untuk sementara di gedung bekas Kantor Imigrasi Punteut, Blang Mangat, Lhokseumawe. Gabungan pemangku kebijakan akan melakukan rapat intensif guna membahas nasib para pengungsi Rohingya ke depannya.
Amnesty International memuji semangat penyelamatan dan mengatakan penyelamatan tersebut sebagai momen optimisme dan solidaritas. “Ini adalah penghargaan bagi masyarakat di Aceh yang berani mengambil risiko sehingga anak-anak, perempuan dan laki-laki ini warga Rohingya dapat dibawa ke pantai. Mereka telah menunjukkan yang terbaik dari kemanusiaan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
Indonesia dan Malaysia adalah tujuan favorit para pengungsi Rohingya. Malaysia memiliki komunitas pengungsi Rohingya terbesar kedua setelah Bangladesh dan Indonesia yang telah mengizinkan mereka untuk mendarat dan mengizinkan banyak orang untuk tinggal. Mayoritas para pengungsi tersebut telah memiliki kartu dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Hal ini menunjukan bahwa kelompok tersebut telah resmi berstatus pengungsi dan mendapatkan hak internasional perlindungan di bawah UNHCR.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan keputusan Indonesia untuk menerima para pengungsi Rohingya secara sementara didasarkan atas nama kemanusiaan. Indonesia sendiri tetap memprioritaskan pemulangan para pengungsi Rohingya ke Rakhine dengan selamat. Oleh karena itu, Retno Marsudi berharap suasana di Rakhine bisa segera kondusif agar penderitaan etnis Rohingya bisa segera selesai.
Pro dan Kontra Menerima Pengungsi
Penolakan memang sering terjadi dalam kasus yang dialami oleh para pengungsi. Kehadiran pengungsi di tengah masyarakat dalam suatu negara dapat memiliki dampak positif dan negatif. Masing-masingnya tergantung pada cara pemerintah dan masyarakat menangani permasalahan tersebut.
Dalam menerima para pengungsi, dampak positif yang akan didapat, antara lain:
- Pengungsi dapat membantu menopang aktivitas perekonomian pemerintah daerah atau wilayah sekitar dan membantu mengurangi kekurangan tenaga kerja.
- Menjadi jawaban bagi permasalahan negara dengan demografi rendah akibat masyarakatnya menua dan dengan tingkat kelahiran rendah
- Membantu mengurangi kekurangan tenaga kerja.
- Budaya yang lebih kaya dan lebih beragam.
Sedangkan kemungkinan negatif yang mungkin terjadi, di antaranya:
- Pengungsi yang tidak memiliki keterampilan akan memberatkan negara tujuan karena harus melindungi dan menopang kehidupannya sehari-hari.
- Meningkatnya angka pengangguran struktural.
- Meningkatnya biaya dan pengeluaran negara.
- Jatuhnya angka PDB riil per Kapita.
Penulis: M. Firjatullah ; Editor: G.Giovani Yudha B dan Yundira Putri Rahmadianti; Perancang Visual: Zaki Khudzaifi dan Yundira Putri Rahmadanti
Referensi:
Al Jazeera. (26 Juni 2020). ‘Best of humanity’: Indonesian fishermen rescue stranded Rohingya. Diambil dari Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/news/2020/06/humanity-indonesian-fishermen-rescue-stranded-rohingya-200626034603870.html
Al Jazeera. (10 Juni 2020). Unwanted: Bangladesh, Malaysia reject rescued Rohingya refugees. Diambil dari Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/news/2020/06/unwanted-bangladesh-malaysia-reject-rescued-rohingya-refugees-200610004345553.html
BBC. (23 Januari 2020). Myanmar Rohingya: What you need to know about the crisis. Diambil dari BBC: https://www.bbc.com/news/world-asia-41566561
BBC. (29 Juni 2020). Rohingya: Cerita penyelamatan pengungsi yang terdampar di Aceh serta dilema antara kemanusiaan dan kecemburuan sosial. Diambil dari BBC: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53163613
Mashabi, S. (30 Juni 2020). Menlu: atas Nama Kemanusiaan, Indonesia Menerima Sementara Pengungsi Rohingya. Diambil dari Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/19372761/menlu-atas-nama-kemanusiaan-indonesia-menerima-sementara-pengungsi-rohingya
Population and Migration. Diambil dari BBC: https://www.bbc.co.uk/bitesize/guides/zkg82hv/revision/5
Pettinger, T. (14 November 2019). Pros and cons of Immigration. Diambil dari Economicshelp: https://www.economicshelp.org/blog/152453/economics/pros-and-cons-of-immigration/
Septiari, D. (26 April 2020). Rohingya refugees rejected everywhere as countries grapple with COVID-19 concerns. Diambil dari The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/26/rohingya-refugees-rejected-everywhere-as-countries-grapple-with-covid-19-concerns.html