Pasca menjadi pemerintah de facto Afghanistan, apa rencana Taliban ke depan?
17/08/2021 — Penaklukan yang dilakukan kelompok Taliban terjadi dalam tempo yang relatif sangat cepat. Lebih cepat daripada yang diprediksi oleh para pengamat konflik Timur Tengah bahkan Presiden AS, Joe Biden sendiri — ketika ia menarik mundur pasukan militer AS dari Afghanistan pada awal Juli 2021 silam.
Dunia sontak dibuat heboh dengan rentetan peristiwa yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Banyak yang bereaksi dan bertanya-tanya sambil mengeluarkan analisa dan kajian mereka sendiri. Namun pertanyaan sesungguhnya untuk saat ini ternyata bukanlah kenapa hal semacam ini bisa terjadi, melainkan lebih kepada apa yang akan terjadi seterusnya.
Follow instagram kami dengan klik link berikut https://www.instagram.com/p/CSpF0-_h3fU/
Larinya sang Presiden dan para pejabat dari posisinya menandakan runtuhnya pemerintahan buatan AS tersebut. Lalu, bagaimanakah kelompok Taliban akan menjalankan pemerintahan di Afghanistan? Sebagai kelompok yang dikenal kerap mempraktikkan hukum islam secara ketat, seberapa benar janji kelompok tersebut untuk mengimplementasikan aturan yang lebih moderat dan modern?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih sulit untuk memperoleh jawaban yang pasti, namun sejatinya ada beberapa teka-teki mendasar yang bisa sekedar dijawab dari kacamata yang cukup netral. Berikut beberapa di antaranya.
- Siapakah para Kelompok Taliban?
Semula, kelompok Taliban terbentuk dari gerakan perlawanan pasukan Mujahidin yang menentang Uni Soviet (sekarang Rusia) yang melakukan invasi dan berusaha menyusupkan paham-paham komunisme ke Afghanistan sejak tahun 1979. Kelompok ini dibentuk oleh seorang imam (tokoh) dari wilayah Kandahar, bernama Mullah Mohammad Omar pada tahun 1994.
Awalnya kelompok ini hanya berukuran kecil yang berisikan para pelajar-pelajar Madrasah (baca: tempat belajar/sekolah) yang tidak suka dengan sikap bengis para Warlords (panglima perang) yang menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Afghanistan — Warlords tersebut mulai bermunculan ketika Uni Soviet mundur dari Afghanistan di tahun 1989 ketika mereka terpecah menjadi beberapa negara yang ada saat ini.
Pengaruh Taliban — yang dalam bahasa indonesia arti namanya adalah ‘murid’ atau ‘pelajar’, terus mengalami peningkatan yang pesat di Afghanistan seiring waktu pasca tahun 1990-an.
2. Apa yang diyakini oleh kelompok tersebut?
Melansir dari The Guardian, kelompok Taliban seringkali dipandang sebagai suatu kelompok yang mengimplementasikan syariat (hukum) islam dengan sangat ketat seperti yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis Deobandi di Pakistan.
Ketika Taliban mencapai puncak kekuasaannya di sekitar tahun 1998, mereka kerap memaksakan nilai dan gaya hidup yang mencerminkan praktik keislaman dan aturan etnis Pashtun — yakni salah satu suku yang ada di negara tersebut, yang disebut sebagai Pashtunwali.
Nilai-nilai yang mereka implementasikan cenderung memarginalisasi kaum perempuan dari ranah publik. Utamanya seperti larangan untuk bekerja dan belajar, serta kewajiban untuk tidak boleh meninggalkan rumah kecuali dalam pendampingan seorang wali Pria.
Pada era tersebut, kerap terjadi eksekusi publik seperti hukum cambuk dan sebagainya. Buku-buku dan film-film barat dilarang, artefak kebudayaan yang dinilai menodai islam pun disingkirkan.
Beberapa orang berpendapat bahwa Taliban yang sekarang ini baru saja menduduki kekuasaan di Afghanistan akan mempraktikan gaya hidup yang lebih modern dan moderat dibanding periode sebelumnya dari tahun 1996–2001, namun beberapa pihak masih meragukan hal ini.
Sesaat pasca mereka berhasil menguasai Ibu kota Kabul pada 15–16 Agustus 2021 kemarin, terdapat beberapa laporan bahwa gambar-gambar wanita yang ada di Kota ditimpa dengan cat atau dicabut.
Selain itu, beberapa rumah warga dan politisi dijaga ketat oleh pasukan, dan terdapat juga pembunuhan terhadap mereka yang dianggap sebagai musuh Taliban.
3. Bagaimana mereka akan menjalankan fungsi pemerintahan?
Pada saat Taliban mengambil tampuk kekusaan, mantan Menteri Pertahanan Afghanistan, Tamim Asey berpendapat bahwa;
“Taliban tidak memiliki dana, rencana, atau juga program yang jelas untuk mengelola pemerintahan selain pemahaman mereka yang masih rancu yang hanya dilandasi oleh sistem syariat.”
Namun terlepas dari anggapan di atas, apakah Taliban yang sekarang sudah berubah? Pertanyaan ini pernah dijawab oleh Thomas Ruttig dalam karya penelitiannya Combatting Terrorism Center’s Sentinel, di mana ia mengatakan;
“Selama masa perlawanan mereka (pasca tahun 2003) — terutama ekspansinya ke area-area selain tentang penegakan aturan Pashtun, Taliban telah banyak menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi yang telah banyak belajar.
Mereka sadar bahwa kebijakan represif mereka telah mengakibatkan pengucilan dunia terhadap kelompok mereka, termasuk dari kalangan masyarakat Afghanistan sendiri yang sebelumnya mulai menyambut mereka pasca berhasil mengakhiri peperangan sipil di awal 1990-an.”
Ungkapan Ruttig sendiri telah menjadi dasar asumsi bahwa Kelompok ini mengerti secara pragmatis akan pentingnya keterbukaan mereka dengan dunia luar.
Namun kelompok Taliban masih mengelak untuk memberikan jawaban pasti terkait bentuk pemerintahan seperti apa yang mau mereka jalankan sekarang.
Padahal, para petinggi Taliban sempat menyinggung pada hari Minggu, 15 Agustus 2021, bahwa kemungkinannya mereka akan kembali ke gaya pemerintahan sebelumnya yakni model islam-emirat, yaitu kekuasaan yang bersifat kedinastian yang populer di Timur Tengah.
Beberapa anggapan bahwa Taliban kini lebih memahami pentingnya berbagi kekuasaan dengan golongan lainnya cenderung diragukan oleh banyak pihak, melihat dari betapa besarnya nilai kemenangan ini seharusnya bagi mereka.
4. Siapa yang akan menjalankan negara tersebut nantinya?
Hal ini masih belum jelas. Proses dan struktur pengambilan keputusan Taliban sangatlah rumit. Meski demikian, terdapat beberapa pendapat bahwa Taliban menginginkan model pemerintah yang bersifat Top-down atau terpusat, seperti model pemerintahan Iran dengan kekuasaan dewan agama di atas kewenangan presiden yang terpilih.
5. Bagaimana dengan isu seputar hak asasi wanita?
Ungkapan kelompok Taliban yang katanya akan lebih moderat dan lembut terhadap wanita dibanding dengan yang perlakukan pada periode 1990-an dianggap sebagai bagian dari lip-service belaka oleh beberapa pihak.
Setidaknya, beberapa pihak menilai ungkapan tersebut hanya untuk konsumsi eksternal pada saat pendapat mereka diperdengarkan dalam negosiasi yang diselenggarakan di Qatar beberapa tempo silam.
Pemimpin kelompok Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar, menyatakan pendapatnya di Qatar bahwa;
Berbagai bentuk ‘hak wanita’ yang dipromosikan oleh dunia barat di bawah intervensi AS hanya membawa kepada imoralitas dan degradasi dalam nilai-nilai keislaman.
Jika menilai pernyataan dari sang pemimpin, posisi Taliban terhadap konteks ini dapat terlihat cukup jelas bagi kebanyakan pihak.
6. Apakah Taliban akan mengakomodasi tumbuhnya kelompok-kelompok lain seperti Al-Qaida?
Dalam perjanjian damai yang mereka sepakati dengan AS tahun lalu, Taliban bersumpah untuk memerangi terorisme dan mencegah Afghanistan jatuh dan beralih menjadi basis kelompok teroris.
Meski begitu, di awal tahun ini, pimpinan Pentagon pernah mengeluarkan pendapat bahwa Afghanistan akan menjadi tempat yang paling potensial bagi kelompok ekstrimis seperti jaringan Al-Qaida akan mampu kembali bangkit dan mereorganisasi.
Kondisi yang terjadi sekarang ini membuat mereka yakin bahwa asumsi tersebut telah terjadi lebih cepat dari yang pernah diperkirakan.
Follow instagram kami dengan klik link berikut https://www.instagram.com/p/CRLsKuogwYl/
Penulis: M. Farhan T. / Ruang Diskusi
Sumber: The Guardian dan lain-lain.