Polemik UU Anti-Terorisme Filipina

Ruang Diskusi
4 min readJul 10, 2020

--

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte menandatangani Undang-Undang Anti-Terorisme pada hari Jumat lalu (3/7). UU Anti-Terorisme atau UU Senat No. 1083 telah disahkan oleh Majelis Tinggi pada Bulan Februari 2020.

Undang-undang ini memuat pendefinisian teroris, yaitu siapa saja yang berpartisipasi dalam aktivitas apa pun yang membahayakan kehidupan seseorang, menyebabkan kerusakan atau kehancuran pada fasilitas pemerintah atau properti pribadi, mengembangkan atau memiliki alat peledak atau senjata, dan melepaskan senjata pemusnah apa pun.

Mulai saat ini polisi dan militer dapat melacak dan merekam diskusi atau komunikasi orang atau organisasi yang diduga berkaitan dengan terorisme.

Dalam undang-undang tersebut, terdapat ketentuan yang memungkinkan tersangka teroris ditangkap tanpa surat perintah dan ditahan hingga 24 hari. Undang-undang baru memungkinkan tersangka “teroris” di bawah pengawasan selama 60 hari, dapat diperpanjang hingga 30 hari lagi, oleh polisi atau militer.

Siapapun yang mengancam akan melakukan terorisme atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan semacam itu juga akan dihukum dengan hukuman penjara 12 tahun.

Juru Bicara Kepresidenan, Harry Roque menyampaikan “Penandatangan hukum tersebut, menjelaskan komitmen kami untuk memberantas terorisme yang telah lama menjangkiti negara dan menyebabkan kesedihan serta ketakutan yang tak terbayangkan bagi masyarakat kami.”

Duterte memperingatkan para teroris yang membunuh orang, maka pemerintah juga akan membunuh mereka.

“Seperti kata mereka: Duterte membunuh di sana-sini. Itu benar. Jika kamu membunuh orang, aku akan benar-benar membunuhmu. Anda bisa bertaruh itu di kuburan ayah dan ibumu,” ujar Duterte.

“Bagi warga negara yang taat hukum di negara ini, saya menyapa anda dengan tulus: Jangan takut jika anda bukan teroris, jika anda tidak mengancurkan pemerintah, bom di gereja, atau fasilitas publik.” tambah Duterte

Duterte menekankan bahwa undang-undang baru ini adalah “senjata hukum yang sangat dibutuhkan” untuk melawan terorisme di Filipina.

Sebelumnya pada tahun 2017, Duterte mendeklarasikan Communist Party of the Philippines (Partai Komunis Filipina) dan New People’s Army (Tentara Rakyat Baru) sebagai kelompok teror.

Senator Panfilo Lacson mengatakan bahwa “Rujukan Duterte terhadap pemberontak komunis bersenjata harus dianggap sebagai ‘pendapat pribadi presiden’ dan bukan penunjukkan ‘resmi’ untuk kelompok tersebut sebagai teroris.”

Lacson menambahkan “Jika seseorang atau suatu kelompok ‘ditunjuk’ sebagai teroris, itu tidak melibatkan penangkapan dan penahanan, namun hanya sinyal bagi Dewan Anti-Teror untuk meminta pihak berwenang membekukan aset mereka.”

Dinilai Kontroversial dan Melanggar HAM

UU Anti-Terorisme kian memicu gelombang protes dari kelompok-kelompok hak asasi manusia. Sejak disahkan melalui Kongres, para pemimpin bisnis Filipina dan Kepala Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet telah melobi Duterte untuk memveto RUU tersebut.

Para kritikus juga mengalami ketakutan bahwa UU ini akan digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat dan memberikan pemerintah “senjata baru” untuk menargetkan lawannya.

Beberapa pihak menentukan aksi penolakan terhadap Undang-Undang Anti- Terorisme yang baru dikeluarkan:

  • Edre Olalia dari National Union Peoples’ Lawyers, berencana untuk mengajukan petisi yang menentang undang-undang di Mahkamah Agung. Olalia khawatir bahwa undang-undang akan memiliki konsekuensi untuk media, aktivis dan tokoh oposisi. “Belum pernah terjadi sebelumnya untuk memberikan begitu banyak kekuatan kepada badan eksekutif — sehingga dikhawatirkan kegiatan yang sah pun dapat dianggap sebagai terorisme,” ungkap Edre.
  • Direktur Amnesty Internasional Asia, Nicholas Bequelin menyatakan bahwa “Di bawah Kepresidenan Duterte, bahkan pengkritik pemerintah yang paling lunak pun dapat dicap sebagai teroris. Dalam iklim impunitas (keadaan tidak dapat dipidana) yang berlaku, definisi terorisme dalam undang-undang tersebut kurang jelas dan hanya dapat memperburuk serangan terhadap pembela HAM.”

Banyak pihak khawatir definisi hukum yang terlalu luas akan digunakan sebagai “alat baru” untuk membungkam mereka dalam menyerukan pertanggungjawaban atas pelanggaran-pelanggaran di era kepemimpinan Duterte. Termasuk pembunuhan di luar hukum yang dilakukan olehnya saat penumpasan anti-narkoba pada tahun 2016.

Penulis: G.Giovani Yudha B; Editor: G. Giovani Yudha B; Perancang Visual: Zaki Khudzaifi dan Yundira Putri Rahmadanti

Referensi

AFP. (3 Juli 2020). Philippines’ Duterte signs anti-terrorism bill into law. Diambil dari https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Philippines__Duterte_signs_anti_terrorism_bill_into_law&news_id=1483145&group_news=ALLNEWS&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman=1

CNN Philippines Staff. (5 Juni 2020). Anti-terrorism bill passed by Congress, now awaits Duterte signature. Diambil dari https://cnnphilippines.com/news/2020/6/5/anti-terrorism-bill-awaits-duterte-signature.html?fbclid=IwAR1QpvEYDO1NyVcHyRllC52u6E-PmENQAL5r1IfU0WNzYBrBDc5JB5UwuKY

CNN Philippines Staff. (8 Juli 2020). Duterte: Communists are terrorists, but law-abiders should not fear new act. Diambil dari https://cnnphilippines.com/news/2020/7/8/Duterte-on-Anti-Terrorism-Act-concerns--You-should-not-be-afraid-if-you-re-not-a-terrorist.html

Senate of The Philippines. (2020). The Anti-Terrorism Act of 2020. Diambil dari https://senate.gov.ph/lisdata/3163229242!.pdf

--

--

Ruang Diskusi
Ruang Diskusi

Written by Ruang Diskusi

Halo Kawan Diskusi, follow juga instagram kami ya https://instagram.com/ru.dis

No responses yet