Porak Poranda RUU Keamanan Nasional Hong Kong

Ruang Diskusi
7 min readJun 16, 2020

--

China kembali membuat keputusan kontroversial dengan menyetujui proposal Undang-Undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong pada Senin, 1 Juni 2020. Keputusan ini dinilai melanggar kesepakatan perjanjian “satu negara, dua sistem” dengan Inggris pada 1997 ketika Inggris menyerahkan kendali atas wilayah tersebut, karena dianggap

Secara garis besar Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional Hong Kong bertujuan untuk mengatur empat upaya yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, antara lain:

  • Secession — memisahkan diri atau merdeka dari China
  • Subversion — merongrong otoritas pemerintah pusat
  • Terrorism — menggunakan kekerasan atau intimidasi terhadap masyarakat
  • Aktivitas entitas asing yang mengintervensi Hong Kong

Menurut Juru Bicara, The National People’s Congress of the People’s Republic of China (NPC), Zhang Yesui, RUU Keamanan Nasional ini ditujukan untuk menopang stabilitas suatu negara dan menjaga keamanan nasional serta melayani kepentingan fundamental semua orang China, termasuk “rekan” yang berada di Hong Kong. Selain itu, pembelaan juga hadir dari pihak lokal yaitu Ip Kwok-him sebagai deputi NPC menyatakan “Pemerintahan Hong Kong tidak bisa menangani aktvitas intervensi sendirian.”

Bernard Chan yang merupakan Ketua Dewan Eksekutif Hong Kong mengatakan bahwa beberapa media internasional membawa reaksi negatif dalam memberitakan RUU Keamanan Nasional Hong Kong. Bernard Chan meluruskan terdapat dua alasan dasar pihak China mengajukan proposal keamanan nasional. Pertama, keamanan nasional merupakan masalah nasional, bukan sesuatu yang murni dalam otonomi Hong Kong. Kedua, pemerintah pusat melihat ancaman nyata terhadap keamanan nasional di Hong Kong. Pihak yang mendukung adanya perubahan merasakan keresahan demonstrasi tahun lalu akibat dari lemahnya dasar hukum keamanan nasional.

Sedangkan, masyarakat yang menolak telah memberi peringatan kepada pemerintah, bahwa jika Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan akan mengikis One Nation, Two Systems sebagai dasar hukum Hong Kong. Pihak yang menolak juga merasakan kekecewaan terhadap Pemerintah, karena akan memungkinkan China untuk menerapkan sistem hukum baru terhadap Hong Kong yang mirip dengan hukum di China. Selain itu, kamar bisnis internasional — termasuk Kamar Dagang Amerika — telah memperingatkan perubahan undang-undang akan membahayakan peran pusat kota Hong Kong sebagai pusat keuangan global.

Beragam Reaksi Terhadap RUU Keamanan Hong Kong

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan, bahwa ia akan mengizinkan lebih dari 2,8 juta orang dari Hong Kong untuk tinggal dan bekerja di Inggris jika China menerapkan undang-undang keamanan nasional. Inggris siap untuk menerima sekitar 350.000 orang dari Hong Kong yang sudah memiliki paspor nasional Inggris dan 2,5 juta yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan bagi mereka.

Sementara itu Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab menyarankan agar Inggris lebih realistis dengan hanya menerima mereka yang sudah memiliki paspor. Namun jika terjadi eksodus massal dari Hong Kong, Raab ingin negara-negara lain juga menerima orang-orang tersebut.

Tawaran Perdana Menteri itu hanya akan berlaku jika China tetap berusaha untuk menetapkan undang-undang keamanan nasional yang akan menghapus kebebasan Hong Kong. Jika undang-undang tersebut tetap diterapkan, Inggris tidak punya pilihan selain menjunjung tinggi ikatan sejarah dan persahabatan dengan rakyat Hong Kong.

Direktur LSM hak asasi manusia Hong Kong Watch, Johnny Patterson, menyambut pernyataan Perdana Menteri Inggris sebagai “intervensi luar biasa”. Menurutnya itu adalah momen penting dalam hubungan antara China dengan Inggris. Ini merupakan cerminan situasi yang semakin serius terkait penetapan undang-undang keamanan nasional, dan juga menunjukan fakta bahwa pemerintah Inggris merasa memiliki kewajiban untuk mendukung warga Hong Kong dengan melakukan semua yang mereka bisa lakukan untuk menghentikan meningkatnya ketegangan antarnegara.

Parlemen Eropa juga mengajukan mosi untuk Uni Eropa beserta negara-negara anggotanya untuk mempertimbangkan kasus di hadapan Mahkamah Internasional, bahwa keputusan China dalam menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong melanggar Sino-British Joint Declaration. Sebagaimana kritik Parlemen Eropa tertuang dalam Motion for a Resolution pada poin (K),

Whereas the proposed law would fatally undermine the ‘one country, two systems’ framework, increasing the prospect of being prosecuted for political crimes in Hong Kong and undermining existing commitments to protect the rights of people in Hong Kong, including those set out in the International Covenant on Civil and Political Rights and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

Parlemen Eropa tidak mempercayai bahwa perubahan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong akan membawa dampak yang positif, melainkan akan melemahkan perlindungan hak-hak masyarakat Hong Kong. Tekanan dari Parlemen Eropa tidak membuat Uni Eropa (EU) melangkah lebih jauh sebelum EU-China Summit tahun 2020, karena masih terdapat adanya kepentingan perekonomian dari kedua pihak.

Kebijakan China untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional juga mendapat respon keras dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump telah mengumumkan bahwa ia akan mulai mengakhiri perlakuan istimewa untuk Hong Kong dalam perdagangan dan perjalanan. Trump mengatakan bahwa dia tidak lagi menganggap Hong Kong terpisah dari China.

Dihapusnya hak istimewa Hong Kong oleh AS akan mengirimkan sinyal peringatan kepada China. AS juga diperkirakan akan mencabut lebih dari 3.000 visa pelajar pascasarjana China.

Saat ini, Hong Kong adalah pusat keuangan global dan menikmati status khusus dari AS. Status khusus tersebut diperlukan Hong Kong karena tidak dikenakan tarif perdagangan seperti yang diterapkan oleh AS kepada China. Tentu saja jika status khusus tersebut dihapus, maka akan mempengaruhi perekonomian dan perdagangan Hong Kong. Selain itu juga akan meningkatkan ketegangan hubungan antara kedua negara dan Amerika Serikat dengan China.

Kilas Balik, Selayang Pandang

RUU Keamanan Hong Kong sejatinya bukan suatu produk politik yang lahir secara spontan. RUU ini merupakan produk politik dari perselisihan yang terjadi pada perang opium. Perang Opium merupakan buntut dari ketegangan hubungan Kerajaan Inggris dengan Dinasti China atas konteks perdagangan, diplomasi, kedaulatan, dan utamanya adalah pengedaran narkotika. Setidaknya telah terjadi dua kali Perang Opium dalam tempo yang relatif tidak terlalu jauh yakni di tahun 1840 dan 1856–1860 yang selalu berbuntut pada kekalahan China. Era-era setelah kekalahan Perang Opium kerap China juluki sebagai “Century of Humiliation” atau Abad Penghinaan yang mengakhiri era kejayaan Dinasti China.

Kekalahan China dalam kedua perang tersebut berujung pada kerugian besar yang harus dibayarkan oleh Dinasti tersebut. Sebagai ‘hadiah’ atas kemenangannya, Inggris menuntut pembebasan sebagian wilayah sekaligus penyerahan status kekuasaan China atas Hong Kong kepada Inggris dengan status sewa selama 99 tahun sejak tahun 1889 hingga 1997. Hong Kong sendiri merupakan wilayah yang cukup strategis bagi kepentingan dagang China dengan dunia luar, namun pasca penyerahan otonomi kepada Inggris, Hong Kong dimanfaatkan sebagai wilayah khusus untuk menopang kepentingan perekonomian Inggris serta tempat tinggal bagi orang-orang Inggris. Pasca selesainya kesepakatan penyewaan Hong Kong kepada Inggris di tahun 1997, Inggris menyerahkan Hong Kong kembali kepada kekuasaan China dengan syarat dipertahankannya keistimewaan hak otonomi Hong Kong atas wilayahnya sendiri serta kondisi ‘Two System Policy’ yang membolehkan satu negara dengan dua sistem untuk 50 tahun setelahnya (hingga tahun 2047). Keduanya sepakat kalau China berhak sepenuhnya berkuasa atas Hong Kong (dalam artian secara politik) di tahun 2047, akan tetapi sebelum saat itu tiba, pemerintah China diwajibkan memberikan perlakuan khusus terhadap Hong Kong.

Kisruh Berkepanjangan Hong Kong

Peristiwa pengembalian Hong Kong kepada China oleh Inggris sejak tahun 1997 sejatinya merupakan langkah yang cukup berisiko bagi hubungan ketiganya khususnya secara sosial dan politik. Kebebasan otonomi atas wilayahnya sendiri, penggunaan bahasanya sendiri (Cantonese), serta pengaruh sistem politik dan ekonomi yang diturunkan oleh Inggris telah memengaruhi pemikiran rakyat Hong Kong untuk membedakan identitas mereka dari China daratan. Keadaan ini cepat atau lambat dapat berujung pada demonstrasi masyarakat Hong Kong terhadap perlakuan China yang telah berlangsung selama setahun ke belakang.

Ketidakpuasan masyarakat Hong Kong pada tahun 2014 ditujukan untuk memprotes kebijakan pemerintah pusat China dalam menghapus pemilihan kepala pemerintahan Hong Kong secara langsung. Demonstran khawatir jika kepala pemerintahan langsung dipilih oleh China, maka akan terjadi hilangnya demokrasi yang sebelumnya telah diperjuangkan. Seruan gerakan pro-demokrasi kembali digaungkan oleh demonstran Hong Kong di tahun 2019, ketika RUU ekstradisi diperkenalkan. RUU yang memungkinkan tersangka kriminal diekstradisi ke China daratan. Meskipun RUU ekstradisi telah ditarik oleh Pemerintah Hong Kong, namun di tahun 2020 China justru mengajukan Undang-Undang Keamanan Nasional kepada parlemen Hong Kong atas dalih menertibkan dan menyelamatkan Hong Kong dari kisruh berkepanjangan. Menanggapi sikap dari Pemerintah China, bahkan di tengah wabah COVID-19 para demonstran tetap bersikeras menyuarakan dan menggelar aksi penolakan terhadap Undang-Undang Keamanan Nasional tersebut yang dianggap sebagai upaya mengubah sistem negara secara samar. Namun di atas itu semua, yang menjadi keprihatinan utamanya ialah kekhawatiran masyarakat terhadap tergerusnya kebebasan berpendapat serta terkikisnya praktik dan prinsip-prinsip dasar berdemokrasi.

Referensi:

BBC. (October 2019). Hong Kong formally scraps extradition bill that sparked protest. Diambil dari https://www.bbc.com/news/world-asia-china-50150853

BBC. (29 Mei 2020). Hong Kong security law: What is it and is it worrying?. Diambil dari https://www.bbc.com/news/world-asia-china-52765838

BBC. (30 Mei 2020). Trump targets China over Hong Kong security law. Diambil dari https://www.bbc.com/news/world-us-canada-52856876

Chan, B. (5 Juni 2020). Hong Kong must have faith that national security law will be clear and precise, to avoid misunderstanding. Diambil dari https://www.scmp.com/comment/opinion/article/3087511/hong-kong-must-have-faith-national-security-law-will-be-clear-and

Europarl Portal. (10 Juni 2020). Motion For a Resolution. Diambil dari https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/B-9-2020-0169_EN.html

Horn, A. (3 Juni 2020). U.K. Willing To Admit Nearly 3 Million From Hong Kong If China Adopts Security Law. Diambil dari https://www.npr.org/2020/06/03/868859749/u-k-willing-to-admit-nearly-3-million-from-hong-kong-if-china-adopts-security-la

Lam, J. & Chung, K. (22 Mei 2020). What does Beijing’s new national security law for Hong Kong cover, and who should worry?. Diambil dari https://www.scmp.com/news/hong-kong/politics/article/3085738/what-does-beijings-new-national-security-law-hong-kong

Lau, S. (12 Juni 2020). EU parliament mulling UN court action against China’s national security law for Hong Kong. Diambil dari https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3088697/eu-parliament-mulling-un-court-action-against-chinas-national

Ramzy, Austin. (3 Juli 2020). How Britain Went to War With China Over Opium. Diambil dari https://www.nytimes.com/­2018/07/03/world/asia/opium-war-book-china-britain.html,

--

--

Ruang Diskusi
Ruang Diskusi

Written by Ruang Diskusi

Halo Kawan Diskusi, follow juga instagram kami ya https://instagram.com/ru.dis

No responses yet