Sudan Resmi Menjadi Negara Sekuler
Sejak tahun 1989 Sudan berada dibawah kekuasaan Omar al-Bashir dan pada bulan April 2019, Omar al-Bashir dikudeta dan digantikan oleh pemerintah transisi. Selama masa transisi, kepala negara di Sudan dikoordinasikan secara kolektif oleh Dewan Kedaulatan dan diketuai Abdel Fattah al-Burhan yang sebelumnya menjabat sebagai Inspektur Jenderal Tentara Sudan.
Hal yang “mencengangkan” dan menarik adalah negara mayoritas muslim ini mulai melakukan reformasi hukum menuju negara yang sekuler dengan melakukan beberapa perubahan hukum. Padahal, mayoritas penduduk Sudan sebanyak 97% memeluk agama Islam, sehingga tidak asing bagi Pemerintahan sebelumnya menjunjung tinggi hukum-hukum Islam. Penerapan hukum Islam juga menjadi faktor kunci adanya perang saudara yang berlangsung lama di Sudan.
Beberapa hukum yang berubah diantaranya:
a. Masyarakat non-muslim diizinkan untuk minum miras asalkan dapat menjaga ketertiban dan tidak memicu keributan,
b. Hukum cambuk ditiadakan,
c. Hukuman mati bagi masyarakat muslim yang berpindah ke agama lain (murtad) juga dihapus.
Menteri Kehakiman Sudan, Nasredeen Abdulbari mengatakan:
“Tidak ada lagi yang berhak menuduh orang atau kelompok sebagai kafir karena hal ini dapat mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat dan mengarah pada pembunuhan balas dendam. Sudan saat ini juga mengizinkan untuk non-muslim mengonsumsi alkohol selama tidak menganggu perdamaian dan tidak melakukannya di publik.”
Tidak hanya diizinkan minum minuman keras,warga non-muslim di sana juga diperbolehkan mengimpor dan menjualnya. Sebelumnya, minuman beralkohol telah dilarang oleh Pemerintah Sudan sejak mantan Presiden Jaafar Nimeiri memperkenalkan hukum Islam pada tahun 1983.
Tidak hanya dari segi agama, Pemerintah Sudan telah meratifikasi undang-undang yang akan mengkriminalisasi tindakan dan pelaku mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation). Kementerian Kehakiman mengumumkan akan menghukum bagi mereka yang melakukannya.
Praktik Female Genital Mutilation dinilai kuno dan akan merusak martabat perempuan. Menurut laporan UNICEF tahun 2014, tingkat mutilasi kelamin perempuan di Sudan telah mencapai 86,6%. Hal ini telah melebihi 3/4 perempuan di seluruh wilayah Sudan.
Reformasi hukum yang juga dilakukan oleh Pemerintah Sudan yaitu perempuan tidak memerlukan lagi izin dari anggota keluarga laki-laki mereka untuk berpergian keluar rumah.
Melanjutkan pernyataan dari Nasredeen Abdulbari
“Semua perubahan ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan di depan undang-undang. Kami telah menghapus semua pasal yang menyebabkan segala bentuk diskriminasi. Kami memastikan orang-orang kami bahwa reformasi hukum akan terus berlanjut sampai kami membatalkan seluruh undang-undang yang melanggar hak asasi manusia di Sudan.”
Mayoritas penduduk Sudan sebanyak 97% memeluk agama Islam, sehingga tidak asing bagi Pemerintahan sebelumnya menjunjung tinggi hukum-hukum Islam. Penerapan hukum Islam juga menjadi faktor kunci adanya perang saudara yang berlangsung lama di Sudan.
Terbentuknya Dewan Kedaulatan Sudan Melalui Transisi Demokrasi
Pada bulan Juli 2019, Sudan berhasil melakukan transisi demokrasi. Omar al-Bashir telah memimpin Sudan dari tahun 1989 hingga dikudeta pada tahun 2019 dan digantikan oleh Transitional Military Council (TMC). Menyusul protes Khartoum Massacre pada tanggal 3 Juni 2019, TMC dan Forces of Freedom and Change (FFC) membentuk aliansi untuk proses transisi selama 39 bulan menuju demokrasi di Sudan, termasuk membentuk lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pada tanggal 5 Juli 2019, dengan bantuan Uni Afrika dan Ethiopia sebagai mediator, kesepakatan lisan dicapai oleh TMC dan FFC tentang pembentukan lembaga pemerintahan. Setelah itu terdapat penyusunan perjanjian tertulis oleh komite pengacara, termasuk pengacara Uni Afrika yang dijanjikan akan berlangsung dalam waktu 48 jam. Perjanjian Politik ditandatangani oleh TMC dan FFC pada tanggal 17 Juli 2019 di depan perwakilan Uni Afrika, Ethiopia, dan badan-badan internasional lainnya.
Berikut beberapa poin utama dalam Perjanjian Politik perihal institusi transisi:
- Pembentukan Dewan Kedaulatan (Sovereignty Council) beranggotakan 11 orang. Lima warga sipil yang dipilih oleh (FFC), lima perwakilan militer yang dipilih oleh (TMC), dan seorang warga sipil yang dipilih berdasarkan kesepakatan antara FFC dan TMC.
- Periode transisi 3 tahun 3 bulan, fase pertama dipimpin oleh salah satu anggota TMC selama 21 bulan pertama dan fase selanjutnya atau 18 bulan masa transisi periode oleh anggota sipil dari Dewan Kedaulatan.
- Rancangan Deklarasi Konstitusi 4 Agustus mendefinisikan bahwa Dewan Kedaulatan sebagai kepala negara Sudan.
- Seluruh Dewan Menteri (Council of Minister) ditunjuk sebagian besar oleh FFC dengan Dewan Kedaulatan dan anggota militernya tidak memiliki peran sepenuhnya dalam pengambilan keputusan.
- Anggota Dewan Kedaulatan, Dewan Menteri, dan Gubernur yang telah terpilih pada masa transisi, tidak dapat menjadi kandidat dalam pemilihan pertama setelah masa transisi.
- Dewan Legislatif akan dibentuk dalam waktu tiga bulan setelah pembentukan Dewan Kedaulatan dan Dewan Menteri. Selagi menunggu pembentukan dewan legislatif, Dewan Kedaulatan dan Dewan Meneri akan melakukan kekuasaan legislatif dalam pertemuan bersama.
- Setelah pembentukan pemerintahan transisi, sebuah komite investigasi independen nasional akan dibentuk untuk melakukan investigasi yang tepat dan transparan terhadap insiden-insiden pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil atau militer.
Pemilihan umum akan dijadwalkan kembali di Sudan pada akhir tahun 2022 sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi, syarat ini selaras dengan kesepakatan politik pada tahun 2019.
Partisipasi Perempuan Dalam Pemerintahan Transisi
Keputusan untuk menjadi negara sekuler di Sudan juga membawa dampak bagi pengambilan keputusan yang melibatkan peran perempuan. Selain larangan Female Genital Mutilation dan diizinkannya perempuan keluar rumah tanpa izin dari anggota keluarga laki-laki, perempuan di Sudan juga memperoleh partisipasi dalam kegiatan Pemerintahan.
Sudanese Women’s Union berpendapat bahwa perempuan telah memainkan peran yang sama pentingnya dengan pria dalam perubahan politik 2019. Gerakan tersebut mengklaim “perempuan memiliki bagian yang sama 50:50 dengan pria di semua tingkatan, diukur dengan kualifikasi dan kemampuan.”
Saat ini kursi pemerintahan transisi juga diisi oleh perempuan, meski perbandingannya masih sangat jauh. Seperti dalam Dewan Kedaulatan terdapat delapan pria dan dua perempuan, yaitu Raja Nicola dan Aisha Musa el-Said. Perempuan juga mulai mengisi susunan kabinet pemerintahan transisi, seperti Mohamed Abdalla (Menteri Luar Negeri), Lena el-Sheikh Mahjoub (Menteri Pembangunan Sosial dan Tenaga Kerja, Wala’a Essam al-Boushi (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan Intisar el-Zein Soughayroun (Menteri Pendidikan Tinggi).
Masyarakat Sudan merasa terbelenggu dengan Pemerintahan Omar al-Bashir yang salah satunya telah menyebabkan konflik Darfur pada tahun 2003 serta 300 ribu orang meninggal dunia. Dalam mengatasi berbagai macam konflik internal, reformasi hukum menjadi cara yang fundamental bagi pemerintahan transisi untuk menarik perhatian masyarakat Sudan. Ditambah bagi sebagian masyarakat Sudan bentuk perubahan hukum menjadi “angin segar” untuk menghirup demokrasi.
Di sisi lain, meskipun pemerintahan Sudan mencoba memformulasikan agar hukum yang bersifat kepercayaan menjadi lebih ‘sekuler’. Namun hal yang menjadi pertanyaan kedepannya adalah apakah demokrasi menjadi cara terbaik untuk mereduksi masifnya protes yang terdapat di berbagai wilayah Sudan? Kita lihat saja ya perkembangan Sudan kedepannya!
Penulis: Rafi Widyadhana Saputra; Editor: G.Giovani Yudha B; Perancang Visual: Zaki Khudzaifi dan Yundira Putri Rahmadanti
Referensi
Agence France-Presse. (13 Juli 2020). Sudan allows alcohol consumption, decriminalizes leaving Islam. Diambil dari https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/13/sudan-allows-alcohol-consumption-decriminalizes-leaving-islam.html
Al Jazeera. (12 Juli 2020). Changes in criminal law as Sudan annuls apostasy death sentence. Diambil dari https://www.aljazeera.com/news/2020/07/criminal-law-sudan-annuls-apostasy-death-sentence-200712143654619.html
Dabanga Sudan. (5 Juli 2019). Military junta and Alliance for Freedom and Change reach agreement on transitional period in Sudan. Diambil dari https://www.dabangasudan.org/en/all-news/article/military-junta-and-alliance-for-freedom-and-change-reach-agreement-on-transitional-period-in-sudan
Dabanga Sudan. (Juli 2019). Political Agreement on establishing the structures and institutions of the transitional period between the Transitional Military Council and the Declaration of Freedom and Change Forces. Diambil dari https://www.dabangasudan.org/uploads/media/5d306eb7c2ab1.pdf
Dabanga Sudan. (18 Agustus 2019). Sudanese Women’s Union protest FFC nominees. Diambil dari https://www.dabangasudan.org/en/all-news/article/sudanese-women-union-protests-ffc-nominees
Kirby, J. (5 Juli 2019). Sudan’s military and civilian opposition have reached a power-sharing deal. Diambil dari https://www.vox.com/2019/7/5/20683001/sudan-power-sharing-agreement-sovereign-council-protests
Reeves, E. (6 Agustus 2019). Sudan: Draft Constitutional Charter for the 2019 Transitional Period. Diambil dari https://sudanreeves.org/2019/08/06/sudan-draft-constitutional-charter-for-the-2019-transitional-period/
Sudan Tribune. (20 Agustus 2019). FFC finally agree on nominees for Sudan’s Sovereign Council. Diambil dari https://sudantribune.com/spip.php?article67962
Wirawan, M. K. (13 Juli 2020). Sudan Cabut Syariat Islam, Non-Muslim Hukum Cambuk Ditiadakan. Diambil dari https://www.kompas.com/global/read/2020/07/13/130733070/sudan-cabut-syariat-islam-non-muslim-boleh-minum-miras-hukum-cambuk?page=all